Ditulis
25 September 2016
Hari
ini kau bersiap, dengan penutup rambut warna hitam dan warna yang kau kenakan
lainnya bewarna putih.
Mengayuh
sepeda merah yang sejak SD kau miliki, mengikuti jejak sendiri. Mampir di
setiap toko kesukaan dan sampai kau singgahkan diri ke salon kecantikan.
Berdiri
beberapa lama di depan cermin, kau
berusaha mengingat wajah diri. Menatap mata sendiri, memasang senyum percaya diri namun sedikit ragu. Matamu berusaha cukup kuat untuk melihat dengan jelas gambar
diri sebab pixel mata yang telah rusak sejak SD kelas 6.
Termangu,
kau mengingat semua nama yang pernah
meninggalkanmu. Dengan mata terpejam bertanya-tanya siapa diantara mereka yang
juga menangis menyaksikan hatimu yang selalu sembunyi bila hancur
berkeping-keping. Kau menggosok kecil anak air mata yang mencoba jatuh di kedua
pipi.
Kembali
pada gambar dalam cermin, kau percaya
bahwa gambar itu sempurna di matamu. Gambar wanita yang selalu dibanjiri peluh, tapi erangannya tak pernah
didengarkan pada siapa pun. Bagimu amarah tak bertuan hanya hanya milik iblis
bertanduk dua. Dan kau akan mengampuni wajah-wajah asing yang pernah membuat
dada dan kepala sumpek. Luluhkan hasrat kebencian dari sosok-sosok pemilik
kemanusian yang tak sempurna. Bersyukurlah pada Tuhan, memberimu
ketidaksempurnaan untuk menjadi sempurna. Meski di mata sendiri. Kepuasan batin
sendiri.
Basah
dirambutmu sudah disapu angin hair dryer,
kau kembali mengenakan penutup rambut dan kau meninggalakan tempat
wanita-wanita menyulap diri itu bersama sepeda kayuhmu. Di tengah perlanan pulang
kau berhenti sejenak di depan pemakaman sebab melihat gadis usia 12 tahun masuk sendirian dengan sekantong kembang di tangan kanannya. Ilusimu
mengabarkan gadis itu rutin datang seminggu sekali setiap kamis sore untuk
mendoakan ayahnya yang berpulang karena komplikasi setahun lalu.
Gumpalan
asap bewarna abu kecoklatan membumbung ke udara dari halaman belakang
pemakaman, naik hingga keatas dan pecah dibawa angin. Gadis itu sudah keluar
dengan mata penuh kepiluan. Sama sepertimu
dengan sepeda merah ia mengayuh
menuju jalan pulang ke rumah.
Kau mencoba mengikuti dari belakang. Namun hujan turun
begitu saja dan memudarkan sosok di depan.
Bersandar
di tepi pertokoan, menghantarkan
hawa tanggung dalam pikirmu. Kau mulai merasa dingin. Tiba-tiba terlihat anak kicil yang digendong ayahnya di emper rumah di sebrang sana. Sejak kecil dulu, kau senang melihat hujan turun sambil dipangku, yakin bahwa dewa-dewa
yang putih menggunakan rintik air hujan sebagai tiang untuk turun ke bumi
menjemput doa-doa baik.
Wajahmu
berubah sendu, seketika terbayang ibu yang tiba-tiba masuk dari balik pintu
kamar, membawa kartu tabungan dari bank swasta sebagai kado ulang tahun ke-13
tahunmu. Mau tidak mau kau akan menyisikan sebagian uang jajan untuk mengisi kado itu setiap akhir bulan. Dan saat usia 16 tahun kau menemukan sahabat terbaik, yang
bersedia menemanimu menyimpan uang jajan, mengisi perut setiap istirahat siang
dengan bekal yang telah disiapkan dari rumah, entah isinya nasi sarden, sarimi
isi dua, atau nugget dengan saos sambal yang terkadang mengotori rok abu-abu
kebanggaan. Kalian berdua tak pernah inginkan canda-hangat bersama teman-teman
di kantin sekolah yang diisi penuh candu merdu gosip pertemanan masa muda.
Jika
kau melihat dirimu yang dulu, jemarimu tak pernah berhenti bergetar sedikitpun.
Kau tak bisa diam seperti batu, tak kenal rasa takut. Anak yang selalu jadi
kebanggaan seisi gag RT. 01 karena semangatnya yang selalu ingin jadi juara di
perlobaan agustusan. Anak yang selalu mengagumi cita-cita untuk menolong orang.
Anak yang lahir dari keluarga baik dan harmonis. Selalu membandingkan hidup hari ini dengan
kisah orang suci dan pahlwan rakyat yang pernah dibacanya selagi anak-anak.
Di
suatu waktu, di penghujung musim hujan, tahun itu kau 11 tahun. Kau meratapi
kesempurnaanmu yang tak lagi sempurna sebab tak ada yang bisa kau anggap luar
biasa lagi. Kau selalu merasa kecil pada mereka yang memulai banyak hal dari
bawah. Sejak itu alam pun bereaksi. Kau
tak lagi miliki pengabdian seorang ayah, kau tak lagi mimpikan bisa memindahkan
gunung, menyatukan dua benua yang terpisahkan lautan luas. Kau malah kelaparan
sebelum sempat berlari ke kutub-kutub dunia.
Terus
terang kini kau tak punya banyak pilihan. Bahkan hatimu masih tertinggal pada
pria milik orang disebrang sana. Apa dirimu
yang sempurna di matamu hanya bernasib bagai lelucon yang dingerkan pada
ibu-ibu di pasar pagi setiap minggu.
Habis sudah tawa mereka yang dulu terpendam dalam dada.
Rintik
hujan hilang tak bersisa, kau tak mau lagi tahu nasip cinta di jiwamu. Kau
ambil lagi kendali sepeda menuju jalan pulang ke rumah. Melewati jejak gadis di pemakaman tadi.