Thursday, 18 February 2016

Mereka Bilang: Ini Malam yang Indah untuk Istirahat

Malam ini, 18 February 2016, aku meramu mantra penawar rindu. Ku pastikan waktu akan mengamankanku sampai esok pagi hingga kembali malam. Sampai waktu mengantarkanku pada sebuah tempat persinggahan terakhir seorang yang akan selalu berada dalam ingatan. Pemilik sepasang tangan yang tak akan lagi kulihat bertadah memohon nikmat untuk madu-madu.

Aku memanggilnya Eyang Kung. Kami sudah terpisah oleh jarak sejak aku bisa mengenalnya. Padaku ia selalu bersedia meluangkan waktu untuk menulis balasan pesan dari beberapa pertanyaan yang kuajukan lewat pesan elektronik. Menulis apa saja bisa begitu panjang seakan tak sedang berupaya besar meski mata dan tangan tak lagi berfungsi dengan baik. Ia adalah satu dari sedikit orang yang kupercaya untuk kuikuti pendapatnya. Pada anak-anaknya, ia selalu membangga-banggakan masa mudanya yang berhasil menyelesaikan beberapa jenjang pendidikan dengan nilai yang memuaskan. Dan hal ini akan terus diulang di depan cucu-cucunya. Belakangan ini ia suka membicarakan orang-orang semasa mudanya. Tidak satu pun aku mengenal nama-nama yang ia sebutkan di dalam cerita.

Bicara kebiasaan, di sebuah ruang berukuran 3x4 ia menyimpan puluhan toples berisi sisa makanan yang telah apek. Seusai makan makanan kering, ia meyimpan sisa makanannya kedalam toples-toples berwarna transparan. Toples-toples itu kini nampak warna-warni. Kusam. Entah apa yang ia harapkan pada butir-butir di dalamnya itu. Dengan jelas ia melarang kepada siapa pun yang ingin membuang tumpukan toples miliknya.

Pada suatu ketika aku bertandang ke tempatnya, kami  tidur dalam satu kamar. Di situ aku mulai paham bahwa ia sangat mengerti aku cukup dalam.  Ia memberi beberapa penawaran yang kubutuhkan. Nasihatnya berlalu tanpa perlu aku mengucap keras semua kegundahanku. Setelah ku amati, ibu dan eyang memiliki banyak kesamaan; Menghabiskan separuh hari mereka dengan membaca do’a, bicara apa saja, membaca buku untuk mengisi kebosanan, sama-sama memiliki hati yang lembut, dan keduanya memilih obat-obat kimia  sebagai peredam rasa sakit.

Sosok pria penyayang ini membesarkan anak-anaknya dengan penuh kelembutan meski tetap menjujung kedisiplinan. Yang ku tahu, ia sangat mencintai istri ke-duanya. Ia pernah gagal dalam suatu pernikahan dan ia belajar betul dari kegagalan itu. Padaku ia bercerita banyak hal. Dan pernah ia begitu kecewa terhadap ibuku. Ibuku yang berganti nama saat mereka terpisah cukup lama. Dan kesalahanku saat itu adalah berpura-pura paham kekesalan eyang meski sebetulnya aku tidak berpihak pada keduanya. Sungguh!

Di tempat ia mengajar, ia cukup dikenal dan di sayang. Aku melihat sendiri. Di ujung usianya ke-80 ia terus mengajar meski langkah kaki sudah terlontai-lontai. Sangat terlontai-lontai. Semangatnya tak pernah kalah oleh takdir menjadi tua. Suaranya yang cukup lambat dalam mengucap kalimat kurasa tak jadi masalah karena ia hanya menemani para mahasiswanya berdoa. Ia tidak malu membawaku ke gedung itu meski aku memakai identitas agamaku. Baginya soal keyakinan adalah tidak ada yang paling salah meski ia dikenal sebagai guru agama Nasrani. Aku melihat kedua matanya menyiratkan cinta atas profesi yang sengaja ia sisakan untuk masa tua.

Kini aku harus kembali menabung kerinduan yang akan semakin menumpuk. Kami memang sudah terbiasa berpisah, tapi kali ini adalah perpisahan terakhir yang tak bisa dilawan.

Thursday, 4 February 2016

Sigaret Silinder Milik Mereka

Aku merasa dangkal, terpojok oleh otakku yang dungu. Aku melihat mereka baik dari kebaikan mereka. Mereka istimewa dengan diri mereka masing-masing. Menjadi luar biasa dari cacat yang  telah mereka alami. Aku buntu oleh waktu yang kami pilih dan oleh ketidak mampuanku membuat perbincangan yang menarik. Aku hanya bisa membuka telinga lebar-lebar dan khusyuk mengunyah apa saja.


Sesekali aku mengajukan pertanyaan untuk menghidupkan peranku. Terkadang juga aku ikut ambil peran ketika topik pembicaran berubah menjadi pergunjingan, Aku tertawa renyah dan mengubah diriku menjadi yang paling jalang, dalam kadarku.

Aku hanya membiarkan mereka berbicara sebagai diri mereka. Berkilau dengan cara yang mereka pilih, dari mimpi serta kegagalan.  Semua arif untuk didengar.

Bila mereka mulai bertutur tentang perjuangan mimpi dan keberhasilan yang telah mereka raih, aku cukup bisa melemper  pertanyataan. Tentang kelanjutan mimpi yang telah  mereka pilih atau cukup dengan memberi ucapan selamat dan berlanjut bisikan doa  kecil untuk hanya aku yang mendengar.

Tidak ada yang besar atau pun signifikan pada diriku. Dibesarkan di dalam kandang membuat  ku silengah dengan keadaan luar.  Mimpi-mimpiku hanya hasil hegemoni dari bacaan. Pun pengorbanan untuk mimpiku belum ada apa-apanya dibandingkan dengan milik mereka. Orang-orang di sekitarku sejauh ini selalu memberikan penawaran yang kuinginkan, atau mungkin perasaan ini ada sebab aku yang tidak banyak menuntut keadaan.  Entahlah, aku hanya berpegang pada saran ibuku, menurutnya wujud lain doa adalah rasa syukur di dalam setiap hal. Mungkin ini tertalu umum. Mungkin bagi sebagian banyak orang aku adalah manusia yang membosankan.

Masing–masing mata para lawan beradu malam itu menunjukkan bobot perbincangan yang tengah berlangsung. Ada yang nampak membeberikan nilai yang tinggi dan ada juga yang seperti biasa saja dengan cerita mereka. Aku sendiri kembali pada nilai relativitas dengan kadar tahu dan pengetahuanku.

Perbincangan kami disuguhi kesederhanaan. Tidak ada secangkir kopi, teh apalagi susu hangat. Beberapa kali aku menahan rasa kantukku karena telah terbiasa mengobrol dengan menghisap minuman hangat (terkadang memilih dingin bila sedang ingin).  Bahkan tidak ada cerutu diantara kami. Ini suasana yang lain sejauh yang aku alami. Namun, tanpa mengurangi ingatanku, fokus lainku saat itu adalah pada kerupuk pasir khas daerah yang ramai dipajang di sepanjang jalan Surabaya-Banyuwangi. Warnanya ramai, sebagai suguhan,menambah renyah.

Bila ingatanku kembali, aku semacam rindu pada zona nyaman. Pada orang-orang khusus. Orang-orang yang membuatku kagum. Mungkin mereka adalah bagian kecil yang membantuku sampai pada diriku saat ini. Meski bagaimana pun juga, dalam banyak cara, diriku sendirilah yang telah berhasil mengubah, dan tidak ada orang lain yang dapat melakukannya untukku.

Setiap malam (dan sering kami memilih waktu yang mendekati tangah malam) kami berkumpul di tempat yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal lamaku di jogja. Sembari mengisi kekosongan perut, kami kerap membuat lelucon tentang apa saja. Awalnya aku menjalani aktifitas itu dengan setengah hati, aku hanya butuh teman, kujadikan sebagai lawan gulita sebab aku takut sendirian meski aku juga sangat tidak senang berada di keramaian. Dan lambat laun aktifitas ini menjadi candu. Aku mencintai gulita malam, suara angin pentang, sampai sisa nilai bintang.

Mereka begitu banyak membuat pembicaraan yang  konvensionalis. Mulai dari yang paling baik sampai yang paling ganjal di otakku *relativitas nilai baik mulai digunakan. Ketika mereka mulai membicarakan hal yang seronoh, aku menaruh gerak mata ambisiusku (lagi-lagi untuk menghidupkan peranku). Mereka menyampaikan prespektif mereka dengan berbeda dan lain dari yang pernah ku dengar sebelumnya. Meski demikian, aku tidak sedang benar   menyimaknya, aku hanya menghadirkan wujudku dalam tawa yang mereka mulai. Aku ikut tertawa bila mereka tertawa, begitu seterusnya bila aku tidak merasa ada kepentingan dengan topik yang sedang berlangsung. Menembus kemampuanku menjadi sejalang mungkin di depan mereka, walau sesungguh aku tidak benar-benar mengerti dan hanya mencontoh.

Lain lagi ketika mereka sedang membicarakan tentang diri mereka, aku akan betul-betul menyimak. Sesekali aku ikut membicarakan tentang diriku. Dan aku merasa diriku memang membosankan. Aku tidak cukup berani membicarakan suatu masalah yang kompleks di dalam sekumpulan orang dan hanya mampu menaruh diriku yang stagnan. Kisah anak yang setiap bulan dijenguk ibu dan di boyong bersama teman-temannya untuk menghadiri acara yang cukup inkonvensional dalam agama. Aku tahu aku tidak asik.

Ketika mulai membicarakan ambisi dan mimpi, aku merasa beruntung bisa mengenal mereka. Semua tau ukuran ambisi setiap manusia berbeda, namun Mereka cukup istimewa dengan cara bicara siapa pun mereka. Menyenangkan mendengar proses pencapaian prestasi. Lagi-lagi pada momen seperti itu aku hanya cukup mengakhiri dengan bisikan doa kecil untuk kudengar sendiri. Aku tidak memiliki spesialisasi dalam banyak hal atau pun di suatu bidang dibandingkan dengan mereka. Aku hanya bisa berlaku patuh sebagai anak dan berbuat baik sebisaku.


Pada ujung penglihatan ku, kami adalah korek api.

Beberapa kali korek api memenuhi perannya. Membakar gas untuk mengubah wujud menjadi sinar merah pada zat lain. Hati-hati! selamanya sesuai pada segala sesuatu yang dibenarkan.

Aku pernah sangat tertarik untuk mencoba menikmati obrolan dengan hisapan cerutu yang membuat asap melayang di kegelapan. Tapi aku tidak merekok. Dibeberapa waktu mencobanya, namun aku tidak dapat menikmati rasa lain selain jenuh.  Aku mengalah pada penawaran karana mungkin hal itu sebaiknya tidak aku lakukan. Aku kerap merasa sebagai orang yang tidak asik, membuat mereka memalingkan wajah saat ingin membuang asap, menghindarkan dari mukakuku, karena hanya aku yang tidak menikmati batang putih itu.


Di waktu seperti itu, mereka mengambil nafas panjang melalui mulut dan melepasnya pelit, sedangkan aku merasa beruntung dengan diriku yang suka makan apa saja.


Aku benci pengaruh dari asap-asap itu. Tapi-juga aku kerap merindukan hadirnya. Dan-juga pemiliknya. Selamanya-kita bagai simfoni masa lalu yang mendayu-dayu.