Aku merasa dangkal, terpojok oleh otakku yang dungu. Aku melihat
mereka baik dari kebaikan mereka. Mereka istimewa dengan diri mereka masing-masing.
Menjadi luar biasa dari cacat yang telah
mereka alami. Aku buntu oleh waktu yang kami pilih dan oleh ketidak mampuanku membuat
perbincangan yang menarik. Aku hanya bisa membuka telinga lebar-lebar dan
khusyuk mengunyah apa saja.
Sesekali aku mengajukan pertanyaan untuk menghidupkan peranku.
Terkadang juga aku ikut ambil peran ketika topik pembicaran berubah menjadi pergunjingan,
Aku tertawa renyah dan mengubah diriku menjadi yang paling jalang, dalam kadarku.
Aku hanya membiarkan mereka berbicara sebagai diri mereka. Berkilau
dengan cara yang mereka pilih, dari mimpi serta kegagalan. Semua arif untuk didengar.
Bila mereka mulai bertutur tentang perjuangan mimpi dan keberhasilan
yang telah mereka raih, aku cukup bisa melemper
pertanyataan. Tentang kelanjutan mimpi yang telah mereka pilih atau cukup dengan memberi ucapan
selamat dan berlanjut bisikan doa kecil untuk
hanya aku yang mendengar.
Tidak ada yang besar atau pun signifikan pada diriku. Dibesarkan di
dalam kandang membuat ku silengah dengan
keadaan luar. Mimpi-mimpiku hanya hasil
hegemoni dari bacaan. Pun pengorbanan untuk mimpiku belum ada apa-apanya
dibandingkan dengan milik mereka. Orang-orang di sekitarku sejauh ini selalu
memberikan penawaran yang kuinginkan, atau mungkin perasaan ini ada sebab aku
yang tidak banyak menuntut keadaan. Entahlah, aku hanya berpegang pada saran ibuku,
menurutnya wujud lain doa adalah rasa syukur di dalam setiap hal. Mungkin ini
tertalu umum. Mungkin bagi sebagian banyak orang aku adalah manusia yang
membosankan.
Masing–masing mata para lawan beradu malam itu menunjukkan bobot
perbincangan yang tengah berlangsung. Ada yang nampak membeberikan nilai yang tinggi
dan ada juga yang seperti biasa saja dengan cerita mereka. Aku sendiri kembali
pada nilai relativitas dengan kadar tahu dan pengetahuanku.
Perbincangan kami disuguhi kesederhanaan. Tidak ada secangkir kopi,
teh apalagi susu hangat. Beberapa kali aku menahan rasa kantukku karena telah
terbiasa mengobrol dengan menghisap minuman hangat (terkadang memilih dingin bila sedang ingin). Bahkan tidak ada cerutu diantara kami. Ini
suasana yang lain sejauh yang aku alami. Namun, tanpa mengurangi ingatanku,
fokus lainku saat itu adalah pada kerupuk pasir khas daerah yang ramai dipajang
di sepanjang jalan Surabaya-Banyuwangi. Warnanya ramai, sebagai suguhan,menambah
renyah.
Bila ingatanku kembali, aku semacam rindu pada zona nyaman. Pada
orang-orang khusus. Orang-orang yang membuatku kagum. Mungkin mereka adalah
bagian kecil yang membantuku sampai pada diriku saat ini. Meski bagaimana pun juga, dalam banyak cara, diriku sendirilah yang
telah berhasil mengubah, dan tidak ada orang lain yang dapat melakukannya
untukku.
Setiap malam (dan sering kami
memilih waktu yang mendekati tangah malam) kami berkumpul di tempat yang
letaknya tak jauh dari tempat tinggal lamaku di jogja. Sembari mengisi
kekosongan perut, kami kerap membuat lelucon tentang apa saja. Awalnya aku
menjalani aktifitas itu dengan setengah hati, aku hanya butuh teman, kujadikan
sebagai lawan gulita sebab aku takut sendirian meski aku juga sangat tidak
senang berada di keramaian. Dan lambat laun aktifitas ini menjadi candu. Aku
mencintai gulita malam, suara angin pentang, sampai sisa nilai bintang.
Mereka begitu banyak membuat pembicaraan yang konvensionalis. Mulai dari yang paling baik
sampai yang paling ganjal di otakku *relativitas
nilai baik mulai digunakan. Ketika mereka mulai membicarakan hal yang
seronoh, aku menaruh gerak mata ambisiusku (lagi-lagi
untuk menghidupkan peranku). Mereka menyampaikan prespektif mereka dengan berbeda
dan lain dari yang pernah ku dengar sebelumnya. Meski demikian, aku tidak
sedang benar menyimaknya, aku hanya
menghadirkan wujudku dalam tawa yang mereka mulai. Aku ikut tertawa bila mereka
tertawa, begitu seterusnya bila aku tidak merasa ada kepentingan dengan topik
yang sedang berlangsung. Menembus kemampuanku menjadi sejalang mungkin di depan
mereka, walau sesungguh aku tidak benar-benar mengerti dan hanya mencontoh.
Lain lagi ketika mereka sedang membicarakan tentang diri mereka, aku
akan betul-betul menyimak. Sesekali aku ikut membicarakan tentang diriku. Dan
aku merasa diriku memang membosankan. Aku tidak cukup berani membicarakan suatu
masalah yang kompleks di dalam sekumpulan orang dan hanya mampu menaruh diriku
yang stagnan. Kisah anak yang setiap bulan dijenguk ibu dan di boyong bersama
teman-temannya untuk menghadiri acara yang cukup inkonvensional dalam agama.
Aku tahu aku tidak asik.
Ketika mulai membicarakan ambisi dan mimpi, aku merasa beruntung
bisa mengenal mereka. Semua tau ukuran ambisi setiap manusia berbeda, namun Mereka
cukup istimewa dengan cara bicara siapa pun mereka. Menyenangkan mendengar
proses pencapaian prestasi. Lagi-lagi pada momen seperti itu aku hanya cukup mengakhiri
dengan bisikan doa kecil untuk kudengar sendiri. Aku tidak memiliki
spesialisasi dalam banyak hal atau pun di suatu bidang dibandingkan dengan
mereka. Aku hanya bisa berlaku patuh sebagai anak dan berbuat baik sebisaku.
Pada ujung penglihatan ku, kami adalah korek api.
Beberapa kali korek api memenuhi perannya. Membakar gas untuk
mengubah wujud menjadi sinar merah pada zat lain. Hati-hati! selamanya sesuai
pada segala sesuatu yang dibenarkan.
Aku pernah sangat tertarik untuk mencoba menikmati obrolan dengan
hisapan cerutu yang membuat asap melayang di kegelapan. Tapi aku tidak merekok.
Dibeberapa waktu mencobanya, namun aku tidak dapat menikmati rasa lain selain
jenuh. Aku mengalah pada penawaran
karana mungkin hal itu sebaiknya tidak aku lakukan. Aku kerap merasa sebagai
orang yang tidak asik, membuat mereka memalingkan wajah saat ingin membuang
asap, menghindarkan dari mukakuku, karena hanya aku yang tidak menikmati batang
putih itu.
Di waktu seperti itu, mereka mengambil nafas panjang melalui mulut dan melepasnya pelit, sedangkan aku merasa beruntung dengan diriku yang suka makan apa saja.
Aku benci pengaruh dari asap-asap itu. Tapi-juga aku kerap
merindukan hadirnya. Dan-juga pemiliknya. Selamanya-kita bagai simfoni masa
lalu yang mendayu-dayu.
No comments:
Post a Comment