Jika benar manusia dalam hidupnya sedang dalam
pengembaraan mencari sesuatu. Maka sudah ku
temukan ‘sesuatu’ku. Yang kerap bikin kangen, namun raib ketika hendak
disinggahi: rumah. Bagiku, rumah bukanlah yang terdiri atas balok dan semen,
tapi jiwa yang membangun kenyamanan atas jiwa diri sendiri.
Suatu hari pernah ku menemukan rumah pada musim
kemarau yang kurasakan pada sepoi angin pantai selatan. Atau tawa-tawa yang
jadi candu sore hari yang teduh di roof top pertokoan 7 lantai. Atau pada
rasa sayang sisa-sisa cinta pertama yang tidak menuntut apa-apa dan hanya
terendam dalam doa paling suci gadis perawan 22 tahun.
Aku menyadari bahwa mengenang masa lampau sama dengan menyerahkan diri pada
suatu kegilaan yang dipenuhi dengan haru-haru tak berujung. Namun aku terus
memilih jadi pejuang rasa kesepian dari satu cinta yang naif. Aku tidak benar-benar percaya atas keabadian
cinta, maupun ketulusannya. Namun kali ini aku membiarkan nuraniku mati lemas karena
takut menyuarakan perasaan yang terus ku rasakan.
Setiap saat ia menyita kesedaranku: lelaki yang
penuh luka di jiwanya. Mungkin jauh ini dia sudah berbeda, ‘aku tak pernah
peduli siapa anda sekarang, anda tetap seorang yang ku kenal dengan tatap mata
dalam serat makna.’ Seorang itu yang
padanya ku menjadi diriku sebenar-benarnya. Dan membagi luka. Seorang yang
ungkapannya masih terdengar: “Tak pernah
ku temui sebelumnya perempuan sekuat kamu”, padahal jiwamu dipepal luka dan
menolak untuk menyembuhkannya.
Dan karenya aku menemukan dunia baru, benar ungkap
Agus Noor bahwa: kesedihan butuh teman, maka itu jadilah beer (meski aku minum bahkan merokok saja tak bisa). Jadilah kampus menjadi
menyenangkan, sebab alih-alih menjadi pelarian gundah dan kesibukan menggugah
kembali adrenalinku yang telah dipukul mati sejak lepas SMA. Aku sangat
mensyukuri kehadiran orang-orang baru.
Namun kini sungguh perasaan ini begitu memuakkan. Renungku
meledak di samping tilam tidurku. Raung tangisku di tengah malam di temani
gaung anjing milik tetangga sebelah. Kurasakan mata-mata baru, serta kenangan
di kota asing ini membakar jiwa suci.
Dulu aku begitu puas dengan apa-apa yang ada dalam
perjalanan; yang keasingannya menimang membuatku menganggap bahwa rumahku
adalah terletak pada perjalanan pencarian mencari jati diri. Kini yang ada: tak
lagi percaya atas jiwa yang hilang
yang tak lagi ditumbuhi bunga-bunga pengharapan. Dengan sadar Dwi Utami
membakar ambisi-ambisi dan nafsu-nafsu yang dulu membuat nuraninya berjaya.
Menjauh dari rumah impian dan jiwa
yang percaya pada kebenaran dan ketulusan.