Monday, 27 March 2017

Perjalanan Pulang yang Tak Kunjung Sampai

Jika benar manusia dalam hidupnya sedang dalam pengembaraan mencari sesuatu. Maka sudah ku  temukan ‘sesuatu’ku. Yang kerap bikin kangen, namun raib ketika hendak disinggahi: rumah. Bagiku, rumah bukanlah yang terdiri atas balok dan semen, tapi jiwa yang membangun kenyamanan atas jiwa diri sendiri.
Suatu hari pernah ku menemukan rumah pada musim kemarau yang kurasakan pada sepoi angin pantai selatan. Atau tawa-tawa yang jadi candu sore hari yang teduh di roof top pertokoan 7 lantai. Atau pada rasa sayang sisa-sisa cinta pertama yang tidak menuntut apa-apa dan hanya terendam dalam doa paling suci gadis perawan 22 tahun.
Aku menyadari bahwa mengenang  masa lampau sama dengan menyerahkan diri pada suatu kegilaan yang dipenuhi dengan haru-haru tak berujung. Namun aku terus memilih jadi pejuang rasa kesepian dari satu cinta yang naif.  Aku tidak benar-benar percaya atas keabadian cinta, maupun ketulusannya. Namun kali ini aku membiarkan nuraniku mati lemas karena takut menyuarakan perasaan yang terus ku rasakan.
Setiap saat ia menyita kesedaranku: lelaki yang penuh luka di jiwanya. Mungkin jauh ini dia sudah berbeda, ‘aku tak pernah peduli siapa anda sekarang, anda tetap seorang yang ku kenal dengan tatap mata dalam serat makna.’ Seorang  itu yang padanya ku menjadi diriku sebenar-benarnya. Dan membagi luka. Seorang yang ungkapannya  masih terdengar: “Tak pernah ku temui sebelumnya perempuan sekuat kamu”, padahal jiwamu dipepal luka dan menolak untuk menyembuhkannya.
Dan karenya aku menemukan dunia baru, benar ungkap Agus Noor bahwa: kesedihan butuh teman, maka itu jadilah beer (meski aku minum bahkan merokok saja tak bisa). Jadilah kampus menjadi menyenangkan, sebab alih-alih menjadi pelarian gundah dan kesibukan menggugah kembali adrenalinku yang telah dipukul mati sejak lepas SMA. Aku sangat mensyukuri kehadiran orang-orang baru.
Namun kini sungguh perasaan ini begitu memuakkan. Renungku meledak di samping tilam tidurku. Raung tangisku di tengah malam di temani gaung anjing milik tetangga sebelah. Kurasakan mata-mata baru, serta kenangan di kota asing ini membakar jiwa suci.
Dulu aku begitu puas dengan apa-apa yang ada dalam perjalanan; yang keasingannya menimang membuatku menganggap bahwa rumahku adalah terletak pada perjalanan pencarian mencari jati diri. Kini yang ada: tak lagi percaya atas jiwa yang hilang yang tak lagi ditumbuhi bunga-bunga pengharapan. Dengan sadar Dwi Utami membakar ambisi-ambisi dan nafsu-nafsu yang dulu membuat nuraninya berjaya. Menjauh dari rumah impian dan jiwa yang percaya pada kebenaran dan ketulusan.



No comments:

Post a Comment