Monday, 25 January 2016

Home

I feel homeless
So I break myself against my stones
Deliver me into my fate


I'am melodious
Out of the darkness
And the air around me still feels like a cage


I gave up on all puzzled intuitions
I'am breathless
I'am homesick, but


Home is more like an emotional feeling of belonging to thing
And I still couldn’t find my home


Saturday, 23 January 2016

Cerita di Suatu Perjalanan

Aku menyalakan poselku di waktu yang masih cukup segar untuk memulai aktifitas. Berpikir sebentar dan baru kemudian memesan Taxi untuk mengantar keberangkatanku pagi ini. Aku tidak sendirian melainkan bersama Ibu, sejak semalam kami berdua disibukkan untuk packing barang masing-masing. Kami berdua akan melakukan perjalanan panjang namun dengan tujuan yang berbeda. 

Perjalanan kami akan dimulai dari waktu yang nyaris sama. Tapi sebentar, aku mengamati bunyi-bunyi stasiun, yang terdengar adalah bising oleh suara-suara calon penumpang. Aku tak bisa mendengar suara tanda kedatangan kereta yang melengking seperti yang sering ku dengar dulu. Mmm biarlah….

Gerbong kereta Bogowonto dengan jadwal keberangkatan 09.00 WIB telah siap di jalur 4. Aku memperhatikan letak duduk ibuku, di dalam gerbong, ia mulai mengubah fokusnya pada Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, buku yang kemarin baru kami beli dari Toga Mas. Kami pun berpisah di stasiun.

Entah kenapa perjalanan ini terasa haru. Mungkin ini yang menjadi penyebabnya, mau sebentar atau pun lama, perpisahan tetaplah perpisahan.

Ditemani alunan nada yang keluar dari earphone, aku mengamati tindak-tanduk orang-orang di sebalahku. Dua perempuan mengenakan pakaian senada menampakkan wajah mereka yang kelelahan. Mungkin mereka hendak pulang dari tempat perantauan, mungkin dari Ibu Kota, aku hanya menebak dalam hati. Sementara di sebelahku tertidur pulas seorang pria paruh baya, tidak nampak berbeda, ia juga terlihat kelelahan. Tapi aku masa bodoh dan kembali dalam ruang dan  yang kumiliki. Delapan jam akan kuhabiskan di dalam gerbong ini. Harap-harap cemas. Ini sekalinya aku pergi sendiri.

Di perjalanan, kurasakan laju kereta melaju kencang melewatkan jalanan yang pernah ku lewati sebelumnya. Aku melihat keluar etalase jendela. Waktu yang hanya milikku kini menyuguhi kerisauan, menyanjung untuk memikirkan tentang apa yang akan menjadi resolusi di tahun ini. Sedikit sigap aku mengeluarkan Note dari dalam pocket (ini jadi awal coretan untuk note baruku yg ku dapatkan dari teman sebulan yang lalu).  Dan mulai mencatat beberapa hal yang akan kujadikan prioritas pada tahun 2016.

I
Pencernankuku sangat bermasalah dua pekan ini. Ini karena kecerobohanku yang selalu ingin memakan apa saja. Mm… entah, semenjak menjadi anak yang terkungkung di peranatauan, aku merasa cukup besar melakukan perubahan dalam pola hidup. Ehmm… lagi-lagi membuat alas an, kamuflase dari rasa yang kurang lebih ingin diperhatikan. Aku harus melakukan diet sehat dan olah raga yang rutin. Bukan semata-mata untuk tampil cantik atau terlihat kurusan. Tapi seperti ungkapan pepatah “Mensana in corpore sano” yang berarti “jiwa yang sehat ada dalam tubuh yang sehat”.  Aku mesti memberi amunisi untuk melancarkan program hidup sehat kali ini, menyadari bahwa aku sering kalah bergelut dengan Devil yang kerap menggoda haha….

II
Fokus berbuat kebaikan.
Aku belajar banyak hal di tahun kemarin. Mungkin aku bisa sedikit berbagi kepada sesama atau mengaplikasikannya dalam keseharianku. Ditambah lagi awal tahun ini aku mendapat beberapa penawaran yang mungkin aku bisa bergerak lebih dan berdinamika di dalamnya. Aku berharap aku bisa menaklukkan rasa takutku pada sesama yang semestinya ku buang jauh-jauh.

Entah… kini aku sangat berharap mendapatkan aktifitas yang berbau sosial. Aku tidak merasa hebat dengan apa yang aku miliki. Aku hanya ingin menjaga keseimbangan.

III
Alunan lagu yang kudengar saat itu, tiba-tiba mengingatkan ku tentangku sebagai mahasiswa yang sebentar lagi akan masuk semester enam. Aku berhenti sejenak menulis dan membagi ruang otakku untuk membayangkan lirik yang ada dalam alunanannya. Aku merasa tertantang untuk menjadikannya topik skripsiku nanti. *Oh ini jelas tanpa berharap waktu akan mendeketku dengan tujuanku ini.

Kemarin aku baru saja mengikuti perbincangan pendek, membicarakan mengenai topik skripsi sastra yang menggunakan lagu sebagai ojek kajiannya. Tentu saja aku senang dan tertarik sebab aku gemar mendengerkan lantunan lagu yang maknanya dikembangkan sesuai ragam subyektif masing-masing.

Satu album dari lagu tersebut ku simak sambil menikmati ruang dan waktu di dalam kereta. Terkadang aku sadar begitu lamanya kereta yang ku tumpangi ini berhenti ke tempat antah berantah, di stasiun yang namanya asing kubaca. Kulihat seorangpria berseragam batik dengan warna yang mencolok dengan ramah menawarkan minuman panas. Aku membeli satu dari dua pilihan, kopi dan teh, aku pilih kopi. Sambil menghisap isi gelas box dari tanganku, pikiranku melayang kembali. Sempat juga aku memikirkan pria tadi bisa menyediakan cappuccino hangat seenak seperti yang sering kubeli di tempat favoritku.

Lima jam telah berlalu, dan aku baru mendapat tiga resolusi yang akan kuterapkan menjadi prioritas.  Fokusku telah terpecah sejak tadi, sejak beberapa orang bergantian mengganti posisi duduk orang di sebelah dan di depanku. Sejauh ini aku yang bertahan paling lama. Suasana di luar cukup ramai, rupanya kereta ini telah sampai di stasiun Surabaya Kota. Karena akan berhenti cukup lama, aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar keluar. Penasaran dengan muka luar stasiun ini, aku beralasan membeli beverage dan makanan ringan. Tidak perduli meski harus memutar jalan cukup lama sebab pintu keluar dan pintu masuk yang berjauhan. Rupanya keadaan di luar stasiun biasa saja. Sejauh ini belum ada stasiun yang memberi sambutan dengan suasana semenarik Jogja, lagi-lagi ini adalah asumsiku. Aku membeli 3 kaleng minuman dengan 1 diantaranya berbeda jenis dan dua bolu Say Bread yang sering kubeli saat di Jogja. Aku berkeinginan membagi dengan teman di sebelahku. Dari pebincangan basa-basi sebelumnya, ia mengaku akan melakukan perjalanan lebih jauh. Meski sebenernya aku kurang suka cara ia membuat ekspresi pada wajahnya, tapi masa bodoh dengan itu, tidak semua mahasiswi harus peduli dengan hal sepele di sekitar bukan?

Perjalanan kembali berlanjut, dan aku kembali tersesat pada pemandangan asing. Di luar sana terlihat matahari yang menyosong rindu pada garis cakrawala. Aku lebih asik sendiri dengan laptop di pangkuan tanpa peduli mereka yang butuh teman bercengkrama. Tapi ternyata ini tidak bertahan lama, seorang bapak-pabak  seumuran ibuku mengenakan kemeja rapi serupa dengan rupa pejabat berhasil mengubah fokusku. Ia menawarkan topik perbincangan yang menarik setalah basa-basi menyapa. Kami hanya berkenalan sejauh mengetahui profesi masing-masing tanpa mengetahui nama satu sama lain. Dua jam obrolan kami isi dengan membicarakan isu-isu yang sedang terjadi, berawal dari isu Freeport hingga isu teror bom yang dialami Jakarta hari itu. Nama kami tidak penting lagi karena pasti akan saling dilupakan.

Aku telah tiba di stasiun tujuanku. Saatnya aku menjelajahi tempat asing yang mungkin akan menyenangkan atau sebaliknya. Sejauh ini aku masih menjadi penggemar jalanan yang asing dan juga masih suka berjalan kaki. Senja menemani gerak langkah dan mata liarku, mencari tempat yang kupastikan aman untuk mengoprasikan posel genggam. Sebelum akhirnya kembali menyerahkan nasib pada keadaan.

Thursday, 21 January 2016

Kamuflase

Udara sekitar masih terasa seperti sangkar dan aku masih selalu bertaruh untuk menang dari segala bentuk kamuflase. Semua angin seakan menyadarkan bahwa kemana pun tempatnya aku mengejar pelangi, aku tetap pada satu duka yang tertunda. Di sini, di kota yang tak pernah aku impikan, aku mencoba melewatkannya sendirian. Aku butuh memadamkan asa. Jika sendirian seperti ini, aku tidak bisa membenci, hatiku terlalu kelam untuk tak perduli. Seperti yang pernah ku katakan sebelumnya, terlalu sok humanis.

Aku berusaha menggunakan waktu untuk meninggalkan kesusahanku. Melatih rasa maluku, membuang ketakutanku, mencari banyak hal yang pantas kudapatkan namun tetap berpegang kendali. Dan terkadang mereka menghentikan kecemasanku. Beberapa dari mereka ku panggil Ms. Aku sendiri mencoba menolong diriku dari rasa keterasingan, mungkin banyak yang tidak menyadari ini.

Seperti biasa, aku membagi waktu untuk berbagi telinga. Aku banyak mendengarkan cerita mereka yang bergelora. Aku tak pernah menyatakan diri sebagai orang suci, namun semua memberi kenyamanan kecuali diriku sendiri. Entah kenapa aku tidak kerasan tinggal di sini. Aku tak bisa merusak yang tak ada, meski kepada mereka senyumku tergurat.  Bagaimana pun aku tak ingin melaggar janji yang telah kubuat.


Selamat bertaruh :) 

Friday, 1 January 2016

Sang Idola

Terang nian pagi memancar membuka hari. Dunia nyata rapi membangunkan jiwa dan senyuman akan kembali menggulung segala ketidak puasan yang datang menjumpai.  Di sebuah lorong aku berlalu menuju kursi panjang  yang telah diduduki seorang perempuan tua yang tengah sibuk menjaring jarum pada benang-benangnya. Seperti mengerti tempat yang akan kutuju. Lirik matanya mempersilahkanku duduk bersebelahan. Tiba-tiba hatiku merasa sejuk melihat cara ia menggeser tubuhnya kesamping.

Tak lama kemudian, padaku ia bercerita banyak tentang anak gadisnya. Anak perempuan yang kini telah banyak berubah dan banyak mengadu berbagai hal baru. Tentang kegelisahan, tentang hasyrat yang sedikit membesar sedikit mengecil, tentang kesenangan dan tentang ketakutan akan kesendirian. Hari semakin menghangatkan suasana dengan rangkaian cerita yang mulai menempati sisi diri. Dari sekian panjang kalimat yang ia buat, aku tak ingin kehilangan satu kata yang lepas dari telinga. Saat seperti ini aku akan menjadi lebih panjang. Inilah kesempatan untuk membuat banyak pertanyaan.

Aku sadar betul bahwa untuk memecahkan enigma sebuah kepribadian dari seseorang tidaklah mudah, hanya sepersekian mungkin asumsi itu bisa benar. Bahkan bisa-bisa  asumsi itu menyesatkan diri sendiri. Hanya akan menambah pertanyaan baru yang sedikit jelas. Baik kemungkinan yang kuanut adalah menunggu dengan sabar kesempatan untuk bertanya pada mereka tentang apa yang ingin kuketahui.

Kembali ia bercerita tentang masa dulu bersama anaknya. Ia mengaku bahwa besar resiko yang ia miliki ketika melahirkan putrinya itu. Anak perempuan diibaratkan olehnya sebagai jarum jahit yang akan memberi banyak manfaat untuk kehidupan serta akan menusuk hingga muncul darah bila salah melihat celah. Namun begitu, ibu ini memilih waktu sebagai jawaban yang akan memperlihatkan sendiri arah dan tujuan yang hendak dituju sang anak. Sebab itu, tak banyak aturan yang ia buat.

Ibu ini menitip pesan padaku, untuk anaknya, agar supaya anugrah yang tiada tara ini tidak diberi noda. Di akhir usia remaja adalah waktu di mana gelimang pesona diri terpancar, di sanalah waktu akan banyak dirubung ketakutan. Ibu ini memperlihatkan getir hatinya karena sang anak akan semakin bertambah pencapaian.

Aku dibuat terkagum-kagum dan menyadari bahwa begitu luarbiasa kemampuan seorang ibu, mereka mampu memperhatikan anak-anaknya dengan begitu detail. Seperti cerita ibu ini pada bagian, kerisauan dulu, ketika sang anak memasuki usia remaja, dengan kepolosan anaknya  yang selalu santai memakai pakaian terbuka setiap pergi bersama keluarga. Namun ia  merasa tidak mampu menunjukkan bahwa itu bukan pakaian yang baik sebab sang putri memang begitu apa adanya. Perkembagan zaman yang sangat cepat, tak mapu lagi ia ikuti, ibu ini sadar benar berbedaan telah menjadi lini kehidupan antara ia dan anaknya. Dengan lingkungan pertemanan serta informasi global yang tak mampu lagi ia ikuti dan hanya anaknya yang getol mengakses sendiri, ia mengikhlaskan kepercayaan pada zaman untuk membesarkan anaknya. Hingga pada suatu hari tanpa diminta, sang anak minta dibelikan  beberapa tutup kepala dan memakainya ke mana pun anak itu pergi.

Diujung waktu pembicaraan semakin menyadarkan bahwa sudah banyak saat berbenah. Titipan semangat dari segala harapannya mampu mengguatkan kaki untuk bertahan. Di sisi lain, ada yang telah siap mengalami perubahan, mencari entah apa. Satu kesempurnaan adalah tentang ibu yang mampu menerima segala perebuhan yang dibawa pualang dengan bentuk baik-buruknya. Tak mampu kupelajari dimana letak kurangnya ia memberi perhatian. Ibu inilah Idolaku, kiblat untuk masa depanku nanti saat tiba waktunya aku dipanggil “Ibu” oleh putra putriku.