Aku menyalakan poselku di waktu yang masih cukup segar untuk memulai
aktifitas. Berpikir sebentar dan baru kemudian memesan Taxi untuk mengantar
keberangkatanku pagi ini. Aku tidak sendirian melainkan bersama Ibu, sejak
semalam kami berdua disibukkan untuk packing
barang masing-masing. Kami berdua akan melakukan perjalanan panjang namun dengan
tujuan yang berbeda.
Perjalanan kami akan dimulai dari waktu yang nyaris sama. Tapi
sebentar, aku mengamati bunyi-bunyi stasiun, yang terdengar adalah bising oleh
suara-suara calon penumpang. Aku tak bisa mendengar suara tanda kedatangan
kereta yang melengking seperti yang sering ku dengar dulu. Mmm biarlah….
Gerbong kereta Bogowonto dengan jadwal keberangkatan 09.00 WIB telah
siap di jalur 4. Aku memperhatikan letak duduk ibuku, di dalam gerbong, ia
mulai mengubah fokusnya pada Al
Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, buku yang kemarin baru kami beli dari Toga Mas. Kami pun berpisah di stasiun.
Entah kenapa perjalanan ini terasa haru. Mungkin ini yang menjadi
penyebabnya, mau sebentar atau pun lama, perpisahan
tetaplah perpisahan.
Ditemani alunan nada yang keluar dari earphone, aku mengamati tindak-tanduk orang-orang di sebalahku. Dua
perempuan mengenakan pakaian senada menampakkan wajah mereka yang kelelahan. Mungkin
mereka hendak pulang dari tempat perantauan, mungkin dari Ibu Kota, aku hanya
menebak dalam hati. Sementara di sebelahku tertidur pulas seorang pria paruh
baya, tidak nampak berbeda, ia juga terlihat kelelahan. Tapi aku masa bodoh dan
kembali dalam ruang dan yang kumiliki.
Delapan jam akan kuhabiskan di dalam gerbong ini. Harap-harap
cemas. Ini sekalinya aku pergi sendiri.
Di perjalanan, kurasakan laju kereta melaju kencang melewatkan
jalanan yang pernah ku lewati sebelumnya. Aku melihat keluar etalase jendela.
Waktu yang hanya milikku kini menyuguhi kerisauan, menyanjung untuk memikirkan
tentang apa yang akan menjadi resolusi di tahun ini. Sedikit sigap aku
mengeluarkan Note dari dalam pocket (ini jadi awal coretan untuk note baruku yg ku
dapatkan dari teman sebulan yang lalu).
Dan mulai mencatat beberapa hal yang akan kujadikan prioritas pada tahun
2016.
I
Pencernankuku sangat bermasalah dua pekan ini. Ini karena
kecerobohanku yang selalu ingin memakan apa saja. Mm… entah, semenjak menjadi
anak yang terkungkung di peranatauan, aku merasa cukup besar melakukan
perubahan dalam pola hidup. Ehmm… lagi-lagi membuat alas an, kamuflase dari
rasa yang kurang lebih ingin diperhatikan. Aku harus melakukan diet sehat dan
olah raga yang rutin. Bukan semata-mata untuk tampil cantik atau terlihat kurusan.
Tapi seperti ungkapan pepatah “Mensana in corpore sano” yang berarti “jiwa yang sehat ada dalam tubuh yang sehat”. Aku mesti memberi amunisi untuk melancarkan
program hidup sehat kali ini, menyadari bahwa aku sering kalah bergelut dengan Devil yang kerap menggoda haha….
II
Fokus berbuat kebaikan.
Aku belajar banyak hal di tahun kemarin. Mungkin aku bisa
sedikit berbagi kepada sesama atau mengaplikasikannya dalam keseharianku.
Ditambah lagi awal tahun ini aku mendapat beberapa penawaran yang mungkin aku bisa bergerak lebih dan berdinamika di dalamnya. Aku
berharap aku bisa menaklukkan rasa takutku pada sesama yang semestinya ku buang
jauh-jauh.
Entah… kini aku sangat berharap
mendapatkan aktifitas yang berbau sosial. Aku tidak merasa hebat dengan apa
yang aku miliki. Aku hanya ingin menjaga keseimbangan.
III
Alunan lagu yang kudengar saat itu,
tiba-tiba mengingatkan ku tentangku sebagai mahasiswa yang sebentar lagi akan
masuk semester enam. Aku berhenti sejenak menulis dan membagi ruang otakku
untuk membayangkan lirik yang ada dalam alunanannya. Aku merasa tertantang
untuk menjadikannya topik skripsiku nanti. *Oh
ini jelas tanpa berharap waktu akan mendeketku dengan tujuanku ini.
Kemarin aku baru saja mengikuti
perbincangan pendek, membicarakan mengenai topik skripsi sastra yang
menggunakan lagu sebagai ojek kajiannya. Tentu saja aku senang dan tertarik
sebab aku gemar mendengerkan lantunan lagu yang maknanya dikembangkan sesuai
ragam subyektif masing-masing.
Satu album dari lagu tersebut ku simak
sambil menikmati ruang dan waktu di dalam kereta. Terkadang aku sadar begitu
lamanya kereta yang ku tumpangi ini berhenti ke tempat antah berantah, di
stasiun yang namanya asing kubaca. Kulihat seorangpria berseragam batik dengan
warna yang mencolok dengan ramah menawarkan minuman panas. Aku membeli satu
dari dua pilihan, kopi dan teh, aku pilih kopi. Sambil menghisap isi gelas box
dari tanganku, pikiranku melayang kembali. Sempat juga aku memikirkan pria tadi
bisa menyediakan cappuccino hangat
seenak seperti yang sering kubeli di tempat favoritku.
Lima jam telah berlalu, dan aku baru
mendapat tiga resolusi yang akan kuterapkan menjadi prioritas. Fokusku telah terpecah sejak tadi, sejak
beberapa orang bergantian mengganti posisi duduk orang di sebelah dan di depanku.
Sejauh ini aku yang bertahan paling lama. Suasana di luar cukup ramai, rupanya
kereta ini telah sampai di stasiun Surabaya Kota. Karena akan berhenti cukup
lama, aku memutuskan untuk jalan-jalan sebentar keluar. Penasaran dengan muka
luar stasiun ini, aku beralasan membeli beverage
dan makanan ringan. Tidak perduli meski harus memutar jalan cukup lama sebab
pintu keluar dan pintu masuk yang berjauhan. Rupanya keadaan di luar stasiun
biasa saja. Sejauh ini belum ada stasiun yang memberi sambutan dengan suasana
semenarik Jogja, lagi-lagi ini adalah asumsiku. Aku membeli 3 kaleng minuman
dengan 1 diantaranya berbeda jenis dan dua bolu Say Bread yang sering kubeli saat di Jogja. Aku berkeinginan
membagi dengan teman di sebelahku. Dari pebincangan basa-basi sebelumnya, ia mengaku
akan melakukan perjalanan lebih jauh. Meski sebenernya aku kurang suka cara ia
membuat ekspresi pada wajahnya, tapi masa bodoh dengan itu, tidak semua
mahasiswi harus peduli dengan hal sepele di sekitar bukan?
Perjalanan kembali berlanjut, dan aku kembali tersesat pada
pemandangan asing. Di luar sana terlihat matahari yang menyosong rindu pada
garis cakrawala. Aku lebih asik sendiri dengan laptop di pangkuan tanpa peduli
mereka yang butuh teman bercengkrama. Tapi ternyata ini tidak bertahan lama, seorang bapak-pabak seumuran ibuku
mengenakan kemeja rapi serupa dengan rupa pejabat berhasil mengubah fokusku. Ia
menawarkan topik perbincangan yang menarik setalah basa-basi menyapa. Kami
hanya berkenalan sejauh mengetahui profesi masing-masing tanpa mengetahui nama
satu sama lain. Dua jam obrolan kami isi dengan membicarakan isu-isu yang sedang terjadi, berawal dari isu Freeport
hingga isu teror bom yang dialami Jakarta hari itu. Nama kami tidak penting
lagi karena pasti akan saling dilupakan.
Aku telah tiba di stasiun tujuanku. Saatnya aku menjelajahi
tempat asing yang mungkin akan menyenangkan atau sebaliknya. Sejauh ini
aku masih menjadi penggemar jalanan yang asing dan juga masih suka berjalan
kaki. Senja menemani gerak langkah dan mata liarku, mencari tempat yang kupastikan
aman untuk mengoprasikan posel genggam. Sebelum akhirnya kembali menyerahkan
nasib pada keadaan.