Friday, 1 January 2016

Sang Idola

Terang nian pagi memancar membuka hari. Dunia nyata rapi membangunkan jiwa dan senyuman akan kembali menggulung segala ketidak puasan yang datang menjumpai.  Di sebuah lorong aku berlalu menuju kursi panjang  yang telah diduduki seorang perempuan tua yang tengah sibuk menjaring jarum pada benang-benangnya. Seperti mengerti tempat yang akan kutuju. Lirik matanya mempersilahkanku duduk bersebelahan. Tiba-tiba hatiku merasa sejuk melihat cara ia menggeser tubuhnya kesamping.

Tak lama kemudian, padaku ia bercerita banyak tentang anak gadisnya. Anak perempuan yang kini telah banyak berubah dan banyak mengadu berbagai hal baru. Tentang kegelisahan, tentang hasyrat yang sedikit membesar sedikit mengecil, tentang kesenangan dan tentang ketakutan akan kesendirian. Hari semakin menghangatkan suasana dengan rangkaian cerita yang mulai menempati sisi diri. Dari sekian panjang kalimat yang ia buat, aku tak ingin kehilangan satu kata yang lepas dari telinga. Saat seperti ini aku akan menjadi lebih panjang. Inilah kesempatan untuk membuat banyak pertanyaan.

Aku sadar betul bahwa untuk memecahkan enigma sebuah kepribadian dari seseorang tidaklah mudah, hanya sepersekian mungkin asumsi itu bisa benar. Bahkan bisa-bisa  asumsi itu menyesatkan diri sendiri. Hanya akan menambah pertanyaan baru yang sedikit jelas. Baik kemungkinan yang kuanut adalah menunggu dengan sabar kesempatan untuk bertanya pada mereka tentang apa yang ingin kuketahui.

Kembali ia bercerita tentang masa dulu bersama anaknya. Ia mengaku bahwa besar resiko yang ia miliki ketika melahirkan putrinya itu. Anak perempuan diibaratkan olehnya sebagai jarum jahit yang akan memberi banyak manfaat untuk kehidupan serta akan menusuk hingga muncul darah bila salah melihat celah. Namun begitu, ibu ini memilih waktu sebagai jawaban yang akan memperlihatkan sendiri arah dan tujuan yang hendak dituju sang anak. Sebab itu, tak banyak aturan yang ia buat.

Ibu ini menitip pesan padaku, untuk anaknya, agar supaya anugrah yang tiada tara ini tidak diberi noda. Di akhir usia remaja adalah waktu di mana gelimang pesona diri terpancar, di sanalah waktu akan banyak dirubung ketakutan. Ibu ini memperlihatkan getir hatinya karena sang anak akan semakin bertambah pencapaian.

Aku dibuat terkagum-kagum dan menyadari bahwa begitu luarbiasa kemampuan seorang ibu, mereka mampu memperhatikan anak-anaknya dengan begitu detail. Seperti cerita ibu ini pada bagian, kerisauan dulu, ketika sang anak memasuki usia remaja, dengan kepolosan anaknya  yang selalu santai memakai pakaian terbuka setiap pergi bersama keluarga. Namun ia  merasa tidak mampu menunjukkan bahwa itu bukan pakaian yang baik sebab sang putri memang begitu apa adanya. Perkembagan zaman yang sangat cepat, tak mapu lagi ia ikuti, ibu ini sadar benar berbedaan telah menjadi lini kehidupan antara ia dan anaknya. Dengan lingkungan pertemanan serta informasi global yang tak mampu lagi ia ikuti dan hanya anaknya yang getol mengakses sendiri, ia mengikhlaskan kepercayaan pada zaman untuk membesarkan anaknya. Hingga pada suatu hari tanpa diminta, sang anak minta dibelikan  beberapa tutup kepala dan memakainya ke mana pun anak itu pergi.

Diujung waktu pembicaraan semakin menyadarkan bahwa sudah banyak saat berbenah. Titipan semangat dari segala harapannya mampu mengguatkan kaki untuk bertahan. Di sisi lain, ada yang telah siap mengalami perubahan, mencari entah apa. Satu kesempurnaan adalah tentang ibu yang mampu menerima segala perebuhan yang dibawa pualang dengan bentuk baik-buruknya. Tak mampu kupelajari dimana letak kurangnya ia memberi perhatian. Ibu inilah Idolaku, kiblat untuk masa depanku nanti saat tiba waktunya aku dipanggil “Ibu” oleh putra putriku.


No comments:

Post a Comment