Tuesday, 31 May 2016

Selebrasi Masa Muda

Saya pikir saya tak pernah enyah  dalam atmosfer orang-orang yang mengelilingi saya. Saya hanya berpikir untuk belajar tanpa pernah bermaksud menjalin suatu hubungan. Namun anda tidak dapat menyebut ini oportunis sebab saya tahu konsep oportunis dan jelas sangat naif untuk tumbuh menjadi prinsip saya.

Sembilan tahun saya menjadi manusia yang madiri dan tumbuh dengan prinsip-prinsip yang saya bangun dari masalah-masalah yang menempa hidup saya. Sejak duduk di bangku SMP saya ditinggalkan bapak yang amat saya banggakan. Dari situ saya menjalani hidup tanpa menjadi lemah dan manja dengan kontruksi cenayang dari seorang ibu. Saya pikir saya telah diserap kemawasan dunia luar yang sekaligus menjadi pelampiasan karena suhu rumah yang tidak sehangat dulu, sewaktu masih ada seorang bapak yang hanya mengaduh pada satu Tuhan.

Dan sekiranya tekanan terhadap saya silih membahak, seketika respon sarkasme keluar dari kepala berbalut tudung. Untunglah saya adalah manusia yang menganggap tekanan dari teman hanya motivasi sementara dan tidak sampai mengubah preferensi saya. Saya benar-benar merasa baik dengan menjadi saya sebenar-benarnya.

Tekanan terhadap saya dari orang-orang yang bermaksud menyelidik, “apa yang sedang kamu cari dari usaha menjadi gadis berpenampilan rapi dengan kemapuan yang cukup  dan wawas? Kenapa masih sendiri?”

Lalu saya mulai membuat pertanyaan yang sama. Kenapa saya tak pernah benar-benar berhasil menjalin sebuah hubungan dengan seorang pria?

Saya kira saya hanya cukup untuk berlayar di kota orang. Dengan mendengarkan mereka berbicara banyak, kemudian memberi respon  dari mulut saya yang tanpa persetujuan hati, saya cukup sering meng-IYA-kan suara mereka. Sungguh rasanya saya memang tak pernah tidak sendiri.

Saya pikir rahasia utama saya tentang bagaimana bisa saya masih berfungsi normal meskipun sebelumnya pernah patah hati adalah dikarenakan bagaimana saya tidak pernah terintegrasi sentimentalitas dengan pemikiran globus fungsional saya (di usia saya yang mencapai 21 tahun). Namun sebenarnya berbicara mengenai sentimentalitas sangat menyikut kenyamanan saya. Pasalnya gagalnya hubungan yang pernah saya jalani sebenar-benarnya menyulutkan banyak pertanyaan terhadap diri saya sendiri.

Mungkin saya masuk dalam golongan orang-orang yang skeptis dengan kisah cinta (yang kalokata Kus); kitsch-kitsch saja. Melihat beberapa teman saya yang berhasil menemukan nikmatnya suatu hubungan saya turut senang dan dengan santai mereka sedikit menjadi tim dalam romansa saya. Meski saya sebenernya memberi penilaian untuk mereka, saya tidak membuat payah diri saya dengan menjadi spoiler terhadap hubungan mereka.

Sebelumnya saya sempat merasa telah benar-benar menjalin sebuah hubungan dengan seorang lelaki yang saya menilainya lebih. Seorang yang tidak pernah memberi penawaran besar, tapi justru membuat besar harapan saya. Intinya tipe seperti itu menjadi porsi saya yang telah besar dengan cara struggle. Maksud saya, saya tidak perlu perhatian seperti diberi fasilitasi jasa antar jemput untuk kebutuhan status  hubungan. Dengan demikian secara leluasa saya tidak akan khawatir memberinya beban perasaan. Dan hubungan singkat kemarin memberi saya banyak pelajaran.

Untuk beberapa waktu ini saya telah mengembangkan gagasan dalam kepala saya bahwa kepada siapa harus saya serahkan pengabdian yang saya bangun utuh. Saya mencoba untuk percaya bahwa saya mencintai seseorang, namun terkadang itu terasa platonis dan perasaan saya untuk dia tidak akan pernah masuk ke jalan seperti kisah saya  yang dekat dengan beberapa orang lainnya.

Jadi, saya tidak akan enyah karena satu tekanan....


Sunday, 29 May 2016

Bukanlah Menyedihkan

Kali ini mungkin boleh bimbang. Dibesarkan dengan dua prinsip yang berbeda membuat bocah ini jatuh kontradiktif bersama pakem-pakem yang dianutnya. Berbagai ideology yang dicekok-kan  membuat semakin hilang haluan.

Mungkin juga benar saya telah jatuh dari nilai-nilai kesadaran  yang telah saya bangun beberapa tahun lalu. Saya banyak bertanya pada dinding kamar yang berfungsi melindungi diri dari dinginnya udara luar, akan bagaimana saya dan rindu yang telah saya ternak dan beranak-pinak ini?


Diri ini yang dulu menolak menanggung perasaan orang, kini telah mengalami hal yang sebaliknya. Meski masih terlalu naif untuk mengakui, nyatanya saya terlalu jauh dari nilai-nilai yang telah saya buat sendiri. 

Thursday, 26 May 2016

Dogma Romansa Muda

Dalam tempa malam di kamar penuh gulita. Meredakan kecemasan. Inilah nasip anak manusia yang tak memiliki mantra mengikat rasa.  Pada bantal yang diam saya mengendus haru, membuat genangan yang melunglai. Pecahnya tangis pertama malam ini menyeringak menabur malu pada cermin rupa diri.

Ditengah jemuku yang kian lama tak tahu-menahu alasan kerinduan pada seorang kekasih yang telah mati. Pada dogma yang santun beromansa kerinduan, saya lesatkan peluru pada kepala-kepala boneka babi di atas meja telivisi. Namun yang saya dapatkan hanya termangu di sisi ranjang melalang buana sendiri.

Saya rindukan pulang ke masa kecil; ketika Ibu dan Ayah menjadi Tuhan di rumah, ketika norma-norma adil dalam hal benci dan cinta. Sungguh berbeda dengan ini yang saya lakukan hanya bertanya-tanya atas apa yang pantas dirindukan. Apa yang salah dengan saya? Mencintai dan menanti kekasih yang tak tergapai lagi. Tak akan saya tempuh lamanya hidup mengharukan.