Dalam tempa malam di kamar
penuh gulita. Meredakan kecemasan. Inilah nasip anak manusia yang tak memiliki
mantra mengikat rasa. Pada bantal yang
diam saya mengendus haru, membuat genangan yang melunglai. Pecahnya tangis
pertama malam ini menyeringak menabur malu pada cermin rupa diri.
Ditengah jemuku yang kian
lama tak tahu-menahu alasan kerinduan pada seorang kekasih yang telah mati. Pada
dogma yang santun beromansa kerinduan, saya lesatkan peluru pada kepala-kepala
boneka babi di atas meja telivisi. Namun yang saya dapatkan hanya termangu di
sisi ranjang melalang buana sendiri.
Saya rindukan pulang ke masa
kecil; ketika Ibu dan Ayah menjadi Tuhan di rumah, ketika norma-norma adil
dalam hal benci dan cinta. Sungguh berbeda dengan ini yang saya lakukan hanya bertanya-tanya
atas apa yang pantas dirindukan. Apa yang salah dengan saya? Mencintai dan
menanti kekasih yang tak tergapai lagi. Tak akan saya tempuh lamanya hidup
mengharukan.
No comments:
Post a Comment