Saya pikir saya
tak pernah enyah dalam atmosfer
orang-orang yang mengelilingi saya. Saya hanya berpikir untuk belajar tanpa
pernah bermaksud menjalin suatu hubungan. Namun anda tidak dapat menyebut ini
oportunis sebab saya tahu konsep oportunis dan jelas sangat naif untuk tumbuh
menjadi prinsip saya.
Sembilan tahun
saya menjadi manusia yang madiri dan tumbuh dengan prinsip-prinsip yang saya
bangun dari masalah-masalah yang menempa hidup saya. Sejak duduk di bangku SMP
saya ditinggalkan bapak yang amat saya banggakan. Dari situ saya menjalani
hidup tanpa menjadi lemah dan manja dengan kontruksi cenayang dari seorang ibu.
Saya pikir saya telah diserap kemawasan dunia luar yang sekaligus menjadi
pelampiasan karena suhu rumah yang tidak sehangat dulu, sewaktu masih ada
seorang bapak yang hanya mengaduh pada satu Tuhan.
Dan sekiranya
tekanan terhadap saya silih membahak, seketika respon sarkasme keluar dari
kepala berbalut tudung. Untunglah saya adalah manusia yang menganggap tekanan
dari teman hanya motivasi sementara dan tidak sampai mengubah preferensi saya.
Saya benar-benar merasa baik dengan menjadi saya sebenar-benarnya.
Tekanan terhadap
saya dari orang-orang yang bermaksud menyelidik, “apa yang sedang kamu cari
dari usaha menjadi gadis berpenampilan rapi dengan kemapuan yang cukup
dan wawas? Kenapa masih sendiri?”
Lalu saya mulai
membuat pertanyaan yang sama. Kenapa saya tak pernah benar-benar berhasil
menjalin sebuah hubungan dengan seorang pria?
Saya kira saya
hanya cukup untuk berlayar di kota orang. Dengan mendengarkan mereka berbicara
banyak, kemudian memberi respon dari mulut
saya yang tanpa persetujuan hati, saya cukup sering meng-IYA-kan suara mereka.
Sungguh rasanya saya memang tak pernah tidak sendiri.
Saya pikir
rahasia utama saya tentang bagaimana bisa saya masih berfungsi normal meskipun
sebelumnya pernah patah hati adalah dikarenakan bagaimana saya tidak pernah
terintegrasi sentimentalitas dengan pemikiran globus fungsional saya (di usia
saya yang mencapai 21 tahun). Namun sebenarnya berbicara mengenai
sentimentalitas sangat menyikut kenyamanan saya. Pasalnya gagalnya hubungan
yang pernah saya jalani sebenar-benarnya menyulutkan banyak pertanyaan terhadap
diri saya sendiri.
Mungkin saya
masuk dalam golongan orang-orang yang skeptis dengan kisah cinta (yang kalokata
Kus); kitsch-kitsch saja. Melihat beberapa teman saya yang berhasil menemukan
nikmatnya suatu hubungan saya turut senang dan dengan santai mereka sedikit menjadi tim dalam
romansa saya. Meski saya sebenernya memberi penilaian untuk mereka, saya tidak
membuat payah diri saya dengan menjadi spoiler terhadap hubungan mereka.
Sebelumnya saya
sempat merasa telah benar-benar menjalin sebuah hubungan dengan seorang lelaki
yang saya menilainya lebih. Seorang yang tidak pernah memberi penawaran besar,
tapi justru membuat besar harapan saya. Intinya tipe seperti itu menjadi porsi saya yang telah besar dengan cara struggle. Maksud saya, saya tidak perlu perhatian seperti diberi fasilitasi jasa antar jemput untuk kebutuhan status hubungan. Dengan demikian secara leluasa saya tidak akan khawatir
memberinya beban perasaan. Dan hubungan singkat kemarin memberi saya banyak
pelajaran.
Untuk beberapa
waktu ini saya telah mengembangkan gagasan dalam kepala saya bahwa kepada siapa
harus saya serahkan pengabdian yang saya bangun utuh. Saya mencoba untuk percaya
bahwa saya mencintai seseorang, namun terkadang itu terasa platonis dan perasaan saya
untuk dia tidak akan pernah masuk ke jalan seperti kisah saya yang dekat dengan beberapa orang lainnya.
Jadi, saya tidak
akan enyah karena satu tekanan....
No comments:
Post a Comment