Aku
tak pernah begitu peduli penderitaan kami semasa ini. Pedih perih selama ini.
Air mata dan deru keluh selalu ku anggap berlalu. Namun aku peduli tentang
utuhnya kesetiaan yang tetap kami jaga (dari si bungsu dna Ibu). Harta terbesar dalam keluarga kecil
ini. Harta paling mulia yang kumiliki sedewasa ini.
Aku
tak pernah sanggup membanyangkan Ibu tergulai lemas tanpa kehadiranku. Aku tak
akan pernah rela membiarkan waktuku berlalu tanpa perannya disisiku. Pun hal
itu sudah menghantui isi otakku sejak di bangku SMA kelas XI sampai pada konsep
pernikahan:
Dalam pernikahan yang mana aku sebagai istri yang dipinang akan menjadikan suamiku raja dalam keluarga baruku. Peran dan diriku akan diubah cepat atau lambat. Sedangkan aku telah mengenyam pelajaran budi pengerti di bangku sekolah sejak usiaku kurang dari 4 tahun hingga saat ini. Apakah aku sanggup menawan segala konsep yang telah aku bangun dan membiarkanya larut bersama sistem yang sudah ada sejak zaman dulu?
Dalam pernikahan yang mana aku sebagai istri yang dipinang akan menjadikan suamiku raja dalam keluarga baruku. Peran dan diriku akan diubah cepat atau lambat. Sedangkan aku telah mengenyam pelajaran budi pengerti di bangku sekolah sejak usiaku kurang dari 4 tahun hingga saat ini. Apakah aku sanggup menawan segala konsep yang telah aku bangun dan membiarkanya larut bersama sistem yang sudah ada sejak zaman dulu?
Apa
yang bisa aku perbuat untuk menentukan seseorang untuk menjadi pasanganku nanti?
Sedangkan aku tidak pernah benar-benar mengerti peran cinta dari seorang lelaki.
Bahkan makna cinta dari seorang lelaki tak pernah benar-benar ku dapatkan, selain pada pesan asmara yang tertinggal dan ku simpan sendiri sejak satu tahun terakhir; Yang
berujung pilu, yang ditanggalkan dan ditingkalkan. Sedangkan aku tak pernah
peduli berapa hati yang telah kubuang, demi pesan rindu yang tak pernah ingin ku
sampaikan lagi.
Malam
tahun baru, aku disungut kembali kegundahan yang telah lama temaram dalam
pikiranku. Awal yang penuh kehangatan berubah jadi bahang pada seluruh rongga
tubuhku, mungkin juga pada ibuku. Perbincangan yang bermula dari permintaan
seorang anak yang hendak meminta izin, mencari pemuputusan, untuk pergi lebih
jauh dari tempat peranatauan yang sekarang. Meminta untuk diizinkan membuat
resolusi keluar dari zona nyaman.
Aku
mengerti dengan sistem yang dijunjung keluarga ini. Aku benar-benar mengerti betapa krisis identitas dialami keluarga
ini: bahkan sampai saat ini asal muasal orang tuaku yang tak pernah benar-benar
aku mengerti. Mungkin ini yang membuat Ibuku betapa hati membiarkanku terbang
setinggi-tingginya. Mengalir lepas sejauh-jauhnya.
I:
“Boleh kemana saja kamu pergi, asal ingat tanggung jawab pada diri
sendiri. Setelah datang waktunya, kamu akan manikah. Kamu akan dibawa suami dan
tinggal bersama membangun keluarga baru. Sedangkan ibu nanti ingin menghabiskan
waktu untuk mendoa dan menanam di gubuk yang hilang nyaman bagi putri Ibu”.
Sungguh
aku tak pernah mendapatkan mimpi seburuk ini. Tak pernah terbayangkan liberalis
Ibu sejauh ini. Pun aku tak pernah ingin itu terjadi! Aku cukup bisa menerima
alasan ibu tidak membiarkanku tumbuh seperti pada identitas perempuan lainnya;
memasak, menjahit, berhijab (meski apa yang tidak didekatkan ibu kubiarkan
terjadi padaku, malah-malah aku mencintai tiga hal itu). Ibu membiarkanku
dididik menjadi waratama, diajarkan dibangku sekolah dan ia cukup percaya pada
zaman.
Ketakutanku
akan konsep pernikahan kembali mengisi peluh otakku. Aku mengeraskan seluruh
jaringan otot: tangan, kaki, perut, dan merasakan perih di hidungku untuk
menahan segenap air mata yang siap mengucur keluar. Aku tidak boleh menangis meski
sesak di dadaku.
D:
“Jalanku masih panjang, masih sangat panjang…. Mungkin memang akan kemana saja
aku nanti. Entah. Yang pasti aku sangat ingin pulang pada Ibu.”
Meski
aku belum berani berjanji memberikan cucu di saat usia kepala dua ini, namun aku yakin akan membiarkan ibu menimang cucu yang lucu sepuas hati
ibu nanti. Anakku adalah buah didik Eyang putrinya yang menggerus keringat demi
putri semata wayangnya: menjadi burung terbang sesuai kendali diri sendiri.
Bahkan bila bisa memaksa, aku ingin ibu percaya bahwa anak yang kulahirkankan
kelak adalah anak yang lucu, pintar dan menggemaskan sehingga ibu perlu
menghabiskan waktu bersama keluarganya.
Betapa
bila dengan mudahnya Tuhan membolak-balikkan hati manusia, aku bersedia selalu
mendoa padaNya; Bahwa bukan hanya untuk tahun ini saja. Untuk selamanya. Aku ingin
kesetian keluarga kecil ini selalu terjaga. Amin….
No comments:
Post a Comment