Thursday, 24 December 2015

CINTA DARI SURGA

Aku mendapat kesempatan menjadi dewasa yakni dengan usia yang lebih tua dari sesungguhnya. Hal ini sangat menyenangkan di mana usiaku masih di bangku sekolah dasar. Ketika itu, banyak teman mendahulukan pendapatku sebab yang mereka tahu  aku adalah lebih tua dari mereka. Saat ini, kebohongan itu juga memperdaya diriku sendiri. Bagaimana dengan usia yang telah menua ini, aku belum juga bisa bijaksana. Mencoba melihat objek dari beberapa sudut pandang, bukan membuatku lebih santun dalam berasumsi tapi malah terdengar semakin brutal. Aku melupakan nilai-nilai yang diajarkan seseorang yang amat kukagumi. Bahwasannya prespektif manusia sesuai apa yang manusia itu percaya tanpa ada peran salah dan benar.


Kurasa hidup ini bagai diorama berwarna-warna alami yang menyatu dengan sajian warna alam, detail demi detail memperlihatkan bukti termakannya masa pada sepasang mata. Di usia yang ke-21 tahun ini, aku masih saja mencintai laki-laki yang sama, tanpa lelah dan tetap merasakan indah. 


Dialah laki-laki yang memberi cintanya tulus untukku. Dia bukan sosok yang romantis, dia tak pernah memberiku bunga ketika aku tambah umur. Namun bersamanya hari-hariku dibuat menjadi istimewa. Begitu hebatnya dia hingga memenuhi segala ruang otakku.


Dia adalah laki-laki yang bahagia dengan caranya yang sederhana. Dia juga amat menghargai sebuah perjuangan. Pernah satu ketika aku dibawa ke rumahnya. Melihat dia waktu itu, aku hampir tidak percaya bahwa dia dibesarkan di tempat tersebut. Rumah berdinding papan kusam berlantaikan tanah yang belum dibalut dengan batu bata, keramik atau semacamnya. Debu akan rata menyebar menyelimuti dinding-dinding properti bila tersapu udara atau bahkan bila sengaja disapu dengan sapu. Melalui kisah-kisah yang ia ceritakan aku banyak belajar. Seperti setiap  malam dimana kami selalu belajar bersama cara praktis menghitung angka-angka bentuk tugas masa dulu, dia juaranya mengerjakan soal Matematika. Aku sedih saat mendengar ia harus putus sekolah sebab tak ada biaya lagi untuk melanjutkan. Dia anak bungsu dari delapan bersaudara, ketiga saudara kandungnya sakit-sakitan dan perlu banyak biaya untuk berobat. Menurutnya, usaha untuk menjadi sukses bisa dimulai dengan berbagai cara, hingga ia memutuskan untuk merantau ke sebuah tempat jauh dari perdaban asalnya. Terlihat amat bersemangat ketika hendak mengerjakan suatu hal. Aku merasa iri melihat semangat yang ia miliki sekaligus malu pada diriku sendiri. sejauh ini, fasilitas pendidikan yang kuperoleh banyak kusiakan.


Aku tak sedikit melakukan kesalahan, aku banyak bertindak ceroboh yang berujung masalah. Namun ia tidak pernah menghardikku sekali pun, justru ia menawarkan solusi untuk kupikirkan kemudian. Menurutnya, tidak berhak menghardik seorang perempuan yang gemar mencoba hal baru, sebab banyak pelajaran yang akan didapat dari pengalaman. Lewat perannya aku dilatih menjadi berani. Harga mati sebuah usaha adalah pembuktian. Dengan atau tanpa kemenangan,  harus tetap pulang tanpa omong kosong untuk dipersembahkan pada yang menunggu di rumah. Katanya padaku, tak perlu kita banyak bicara atau pun menyombongkan diri sebab itu hanya akan memperlihatkan isi otak yang kopong pada mereka. Ia menginkanku untuk menjadi sebaik-baiknya aku. Sederhana dan banyak bersyukur adalah kunci bahagia yang ia tanamkan.


Pernah suatu malam aku membaca sebuah buku ilmu  sosial tentang kesenjangan. Mungkin karena terlihat serius, dia menghampiri dan menawarkan waktunya yang ketika itu mamang sedang tidak sibuk apa-apa. Perbincangan kami mulai. Ia paham benar apa yang sedang kurasakan tanpa perlu aku berucap keras. Tak pernah ia memberi banyak penawaran dan kefanaan yang membuat kebahagiaan sesaat,  cukup kesediaan untuk mendengar dan bertahan, aku suka caranya mencintai manusia dengan wajar dan santun. Aku tidak pernah merasa sendiri meski perhatiannya tidak diumbar. Memberi tanpa terlihat memberi, mengasihi tanpa pamrih.


Pertemuan kami hanya sampai pada waktu 13 tahun, setelahnya perjumpaan kami lakukan melalui doa. Sejak saat itu aku belajar mengenal sepi  melalui prespektif diri. Laki-laki inilah yang berpengaruh besar atas kelahiranku. Memberi aku sebentuk pandangan kedepan dalam menafsirkan arti sebuah nilai. Mungkin banyak orang yang mencemooh kami tidak punya pendirian karena kami yang begitu toleran pada keadaan apapun dan siapapun. Tapi apa guna itu semua setelah lewat telinga. Inilah cara kami merdeka dengan menjadi diri kami sendiri yang memahami tiap subjek dan objek dengan segala relativitasnya. Kami berdua sepakat untuk meyakini bahwa semua hal di dunia ini adalah hal yang relatif dan multi perspektif. Setiap manusia terlahir bersama segala hak hidup secara utuh. Karena itu, meski aku sangat mencintainya, tak pernah sekali pun ia merasa superior atas diriku.


Aku ingin terus mencintai dengan santun sebagai aku yang telah mengenalnya.

No comments:

Post a Comment