Thursday, 26 October 2017

Tentang Seseorang


Perjumpaan dengannya. Aku menemukannya berbicara dengan siapa saja, di mana pun. Setiap waktu di awal pertemuan kami, aku lebih memilih untuk hilang tenggelam dalam lantunan musik yang mengudara sebab sudah lama aku tidak memilih larut dalam kenarsisan orang-orang.

Asap tembakau dibakarnya, mengepul di hadapanku. Dia membawaku pada bangku percakapan di suatu malam, terus diulang di hari berikutnya. Dia bilang, “kamu wanita dengan keunggulan di atas wanita pada umumnya….” tapi ia tidak melanjutkan. Tidak perlu juga karena aku sudah tau kelanjutannya. Lagian bagaimana bisa aku benar-benar percaya ada orang yang benar-benar menyukaiku; meski dibilang berhasil membuat banyak orang jatuh cinta, sedangkan diriku tak bisa menampik bahwa rasa - rasanya aku telah lama membenci diriku sendiri.

Perjumpaan kami berikutnya. Akhrinya aku kembali pada orang yang sama dan dalam pengharapan yang sama. Hari itu diawali dengan keputus asaan sebab kami dipertemukan di siang-siang yang udaranya suram. Kami terus terusan kehujanan tapi di kota yang tiba-tiba jadi nyaman ini, kami tetap memutuskan duduk di mana saja. Setiap hari memulai pertemuan selalu dengan pertanyaan "ingin tahu kabar terbarumu" dan kekakuan terus saja ada, tp berhasil tersimpan rapi di kepala masing-masing.

Sepekan kemudian aku salah ambil keputusan. Malam itu kepalaku di pekik ragu. Aku pikir aku pernah menjalin hubungan romantis sebelumnya. Meski satu dua kali aku cuma jadi formalitas percintaan mereka saja sedangkan di belakang aku tau mereka main api. Meski aku menyadari itu tapi aku pura-pura diam dan mencari jalan untuk bisa keluar dari hubungan tanpa terlihat menyedihkan dan menghapus jejak luka yang sedang mereka tanam dalam kisahku. Jadi sepanjang hidupku aku sudah berusaha dengan kuat supaya aku tidak pernah meneteskan air mata untuk lelaki mana pun dan berpura pura seolah tidak ada yang merugikan diriku dalam setiap hubungan yang pernah ku jalin.

Saat aku memusatkan perhatian pada pengalamannya yang romantis, aku tidak bisa tidak memikirkan seberapa cepat semua hal ini terjadi di antara kami. Tapi aku berani mengaku kepada Tuhan betapa aku belum pernah merasa lebih hidup dari hari di mana pertemuan demi pertemuan yang pernah kami buat salama ia datang ke kota ini. Bahkan aku masih terngiang pertemuan implusif tengah malam yang mebawa kami sampai ke kota sebrang.

Satu malam keputusasaanku, membuat aku memikirkan bahwa kami berdua adalah dua orang yang menyedihkan yang merasa nyaman dalam pelukan masing - masing. Aku tidak bisa menahan diri untuk berharap lebih keras bahwa yang ini akhirnya akan bertahan. Dan kala itu, janji lagi – lagi tidak terpenuhi dan dilepaskan. Aku tidak dapat menahan diri untuk berjanji pada diri sendiri bahwa akan menekan penghakiman sebelumnya tentang hubungan ini. Memikirkan hal itu, ketakutanku mulai menyelinap sampai ke otak. Satu kalimat yang kurangkai dan ku kirim kepadanya mungkin telah memarahi harga dirinya. Dan aku tidak bisa tidak berpikir, betapa bodohnya aku. Dan sebuah kesimpulan mulai menghiasi ruang pikiranku, 'Aku begitu sangsi pada diriku sendiri sampai bodohnya aku berprilaku seperti bocah puber baru kenal cinta!'

Jadi malam itu aku sudah menangis. Karena semua ketakutan dan spekulasi selama ini menimbulkan kerusuhan di benakku. Dan juga untuk sebuah kesadaran bahwa aku tidak pernah merasa begitu takut kehilangan seseorang seperti sekarang. Mengapa? Karena untuk sekali ini, seseorang memahamiku.

Tapi,
Setiap jiwa tetap harus diberi penghidupan. Dengan kesalahan yang pernah aku buat, harapan yang telah ku siakan ini akan jadi pelajaran untuk kubawa dalam perjalananku ke depan. Jalanku yang masih sangat panjang dan akan ku temukan warna meranum indah menghiasi jiwa kembali.





No comments:

Post a Comment