Perjumpaan dengannya. Aku menemukannya berbicara
dengan siapa saja, di mana pun. Setiap waktu di awal pertemuan kami, aku lebih memilih untuk hilang tenggelam dalam lantunan musik yang mengudara sebab sudah
lama aku tidak memilih larut dalam kenarsisan orang-orang.
Asap tembakau dibakarnya, mengepul di hadapanku. Dia
membawaku pada bangku percakapan di suatu malam, terus diulang di hari
berikutnya. Dia bilang,
“kamu wanita dengan keunggulan di atas wanita pada umumnya….” tapi ia tidak
melanjutkan. Tidak perlu juga karena aku sudah tau kelanjutannya. Lagian
bagaimana bisa aku benar-benar percaya ada orang yang benar-benar
menyukaiku; meski dibilang berhasil membuat banyak orang jatuh cinta, sedangkan diriku tak bisa menampik bahwa rasa - rasanya aku telah lama membenci diriku sendiri.
Perjumpaan kami berikutnya. Akhrinya aku kembali pada orang yang sama dan dalam
pengharapan yang sama. Hari itu diawali dengan keputus asaan sebab kami dipertemukan
di siang-siang yang udaranya suram. Kami terus terusan kehujanan tapi di kota
yang tiba-tiba jadi nyaman ini, kami tetap memutuskan duduk di mana saja.
Setiap hari memulai pertemuan selalu dengan pertanyaan "ingin tahu kabar terbarumu" dan kekakuan terus saja ada, tp berhasil tersimpan rapi di kepala masing-masing.
Sepekan kemudian aku salah ambil keputusan. Malam itu
kepalaku di pekik ragu. Aku pikir aku pernah menjalin hubungan romantis
sebelumnya. Meski satu dua kali aku cuma jadi formalitas percintaan mereka saja
sedangkan di belakang aku tau mereka main api. Meski aku menyadari itu tapi aku pura-pura diam dan mencari jalan untuk bisa keluar dari hubungan
tanpa terlihat menyedihkan dan menghapus jejak luka yang sedang mereka tanam
dalam kisahku. Jadi sepanjang hidupku aku sudah berusaha dengan kuat supaya aku
tidak pernah meneteskan air mata untuk lelaki mana pun dan berpura pura seolah
tidak ada yang merugikan diriku dalam setiap hubungan yang pernah ku jalin.
Saat aku memusatkan perhatian pada pengalamannya yang
romantis, aku tidak bisa tidak memikirkan seberapa cepat semua hal ini terjadi
di antara kami. Tapi aku berani mengaku kepada Tuhan betapa aku belum pernah
merasa lebih hidup dari hari di mana pertemuan demi pertemuan yang pernah kami
buat salama ia datang ke kota ini. Bahkan aku masih terngiang pertemuan implusif tengah
malam yang mebawa kami sampai ke kota sebrang.
Satu malam keputusasaanku, membuat aku memikirkan
bahwa kami berdua adalah dua orang yang menyedihkan yang merasa nyaman dalam
pelukan masing - masing. Aku tidak bisa menahan diri untuk berharap lebih keras
bahwa yang ini akhirnya akan bertahan. Dan kala itu, janji lagi – lagi tidak terpenuhi
dan dilepaskan. Aku tidak dapat menahan diri untuk berjanji pada diri sendiri
bahwa akan menekan penghakiman sebelumnya tentang hubungan ini. Memikirkan hal itu, ketakutanku mulai menyelinap sampai
ke otak. Satu kalimat yang kurangkai dan ku kirim kepadanya mungkin telah memarahi
harga dirinya. Dan aku tidak bisa tidak berpikir, betapa bodohnya aku. Dan
sebuah kesimpulan mulai menghiasi ruang pikiranku, 'Aku begitu sangsi pada diriku
sendiri sampai bodohnya aku berprilaku seperti bocah puber baru kenal cinta!'
Jadi malam itu aku sudah menangis. Karena semua
ketakutan dan spekulasi selama ini menimbulkan kerusuhan di benakku. Dan juga untuk
sebuah kesadaran bahwa aku tidak pernah merasa begitu takut kehilangan
seseorang seperti sekarang. Mengapa? Karena untuk sekali ini, seseorang
memahamiku.
Tapi,
Setiap jiwa tetap harus diberi penghidupan. Dengan
kesalahan yang pernah aku buat, harapan yang telah ku siakan ini akan jadi
pelajaran untuk kubawa dalam perjalananku ke depan. Jalanku yang masih sangat
panjang dan akan ku temukan warna meranum indah menghiasi jiwa kembali.
No comments:
Post a Comment