Beberapa hari kemarin aku baru saja menulis tentang haru
biruku 4 tahun tinggal di Jogja. Namun alangkah tidak tahu dirinya diri ini
bila aku melupakan sejuta kenangan menis yang juga ku miliki di kota yang
mengajarkan asaku terbang mengudara. Kali ini aku tidak mau dipepal sesal
karena lupa bilang ‘terima kasih’ pada kota ini sebelum aku pindah laju
perantauan.
Selama ini aku menyadari hidupku di selimuti penuh
oleh ambisi-ambisi. Tapi dengan itu aku bisa sedikit merasa ‘jaya’ berhasil dipeluk
oleh hati karena telah beberapakali menuntaskan pencapaian. Meski telah menunda
kelulusan di tahun ini, menulis sebuah penelitian untuk kepanitiaan, membatalkan
kesempatan magang di salah satu media yang ku gemari, disusul kenyataan
beberapa kali mengganti topik skripsi dari awal. Tapi apakah aku menyesalkannya?
Sama sekali tidak. Meski dalam prosesnya kerap aku merasa terlalu jatuh
menangis (wajarkan?).
Tahun 2017 mungkin belum jadi masa transisiku dari
seorang mahasiswi menjadi pekerja. Tapi aku mekukan keduanya. Tahun ini aku
masih belajar sekaligus bekerja seperti tahun-tahun sebelumnya. Oiya, saat ini
aku bekerja di Humas UGM di bagian Public Relations. Totally unexpected karena
ini sama sekali gak masuk list yg aku buat tiap akhir tahun. Ini cerita menarik
juga si menurutku, yang bisa ku ambil hikmahnya. Awalnya aku berkeinginan
magang ke Ibu Kota, rencana sudah matang dan proposal sudah aku buat jauh-jauh
hari sebelum aku brangkat KKN ke Papua tahun lalu. Pengajuan magangku pun di
terima di Liputan 6, happy dong pasti. Rencana dua bulan magang dari bulan
februari – april. Namun, di akhir tahun 2016 awal bulan Desember tepatnya, aku memutar
pilihan, mengambil penawaran join
kepanitian untuk membuat pementasan di acara dwi tahunan kampusku. Saran dari
salah satu teman, “kapanlagi kamu untuk kampus kamu?” dan disusul saran untuk
apply kerja di rektorat olehnya pun aku jabani. Itung – itung untuk mengganti
masa magangku di media. Dan, taraa aku masih bekerja sampai saat ini. : )
Hikmah yang aku dapatkan. 3,5 tahun sudah menjadi manusia
yang hilang rasa aman. Di mana-mana dipepal kewaspadaan, sedang diri butuh
teman sebab sepi kerap menjumpai di malam – malam panjang. Aku lupa sejak kapan
aku senang dengan kesendirian, yang sedikit kuingat sejak menginjak usia
remaja, aku sudah bisa mengerti bahwa semua orang tidak bisa memiliki hubungan
dengan perasaan yang sama. Beberapa orang memiliki pasangan, tetapi mereka
tidak merasa bahwa pasangan mereka adalah teman terbaik mereka. Pun kurasakan
pula dalam suasana keluarga sampai dunia pertemanan. Namun keluarga tetap
keluarga, aku tidak akan pernah bisa terlepas dari mereka bagaimana pun
sulitnya. Dan aku sangat puas karena aku mendapatkan cinta kasih dari keluarga
serta memiliki hak memputuskan pertemanan terbaik untuk ku pertahankan.
Dan di jogja aku mamiliki berbagai jenis teman yang
aku butuhkan ketika aku mau. Yang pertama, aku berteman dengan tanamanku yang
bibit-bibitnya aku kumpulkan dari beberapa teman yang bersedia kurepotkan, atau
dari bapak penjual bunga di Kota Baru yang bersedia memberikan bibit bunganya
dengan syarat sedikit rayuan ujaran hehe
(tidak jadi masalah bila aku bisa menyimpan uangku untuk keperluan yang
lainnya).
Teman kedua adalah kucing-kucingku yang aku adobsi
dari jalanan, maupun pemberian teman karena sudah tidak terawat. Mereka begitu
menggemaskan meski banyak pedihnya juga karena mesti ku saksikan kesakitan
mereka keluar – masuk RSH serta terus-terusan diikat selang infus. Untuk hal ini, Ibuku sering mengomel karena curhatanku yang lagi tekor menebus uang untuk
memperjuangkan nasib kucing-kucingku. Sampai ibuku menyarankan ku untuk mencari adobter lain dan menyuruh mengganti
rutinas lain seperti pergi jalan - jalan ke kebun binatang sesekali waktu dan menabung dulu yang banyak
biar jadi miliarder: baru bikin peternakan kucing atau bisa juga macan di kandang milik sendiri. Hmmm, oh, Ibuu : (
Temanku berikutnya adalah orang-orang terbaik yang sangat
luar biasa di mataku. Teman terbaik
cukup sulit untuk ku tentukan karena setiap hal memiliki kualifikasi
masing-masing. Mungkin yang disebut teman terbaik atau sahabat adalah seseorang
yang menerima kita setiap waktu, mendukung kita, bergaul dengan kita sepanjang
waktu, dan lain sebagainya.
Aku cukup senang menonton film festival; beberapa
kali membuat dan mendiskusikan bersama beberapa teman. Pernah juga film kami
menang kejuaraan! Dari pertemanan ini aku mendaptkan sejumlah orang yang cukup
mengisi kekosonganku. Bahkan dari sini aku bisa berkesempatan diskusi sedikit –
banyak dengan dosen, sampai saat ini kedekatan kami sudah seperti teman (tapi
aku bukan penjilat ya, ini literally muncul dari diskusi yang mengalir). Mereka
memberiku ruang untuk tanggap dengan berbincangan sampai join project bareng.
Aku memiliki teman yang benar-benar dekat denganku.
Kami akan pergi jalan-jalan bersama ketika bosan dan saling mencurahkan isi
hati ketika butuh. Tapi di sisi lain, aku juga berpikir bahwa ia tidak tahu
diriku yang sebenar-benernya. Sebab kami memiliki prespektif yang sangat
berbeda; sering salah menafsirkan suatu hal dan mempertengkarkannya meski
kemudian berpelukan. Yang pasti kami kudu terus saling menghargai pilihan
masing-masing dan terus menyayangi. Di kualifikasi ini di isi Salsabila,
makasih banyak ya, Sal (kalau kamu baca ini) makasih ga pernah ngebiarin eug
kelaperan sampai sakit di kota ini :*.
Dan teman terbaikku berikutnya, aku pikir ini adalah
orang-orang yang paling sulit untuk ku temukan. Mereka tahu persis apa yang
harus dikatakan dalam setiap keadaan dan tahu apa yang harus dilakukan. Jujur, mereka
bukan sepantasnya berteman dengan orang sepertiku yang tidak mengenal banyak
rasa, tapi mereka adalah teman yang ku butuhkan. Aku rasa ini adalah sahabat
sejati yang seharusnya. Beberapa kali aku membiarkan mereka untuk tahu tentang
masalah terbaru, perjuangan, dan benar-benar mempercayai mereka untuk mengetahui
masalah-masalah pribadiku. Teman ini mungkin yang selalu ada kapan saja aku
ingin berbicara dengannya, kami tidak benar-benar selalu memiliki percakapan
yang mendalam, tapi aku selalu
mengucapkan kejujuran ku padan mereka tanpa ada prasangka yang menggantung. Yah,
kadang-kadang aku tidak benar-benar berpikir bahwa aku pantas, tapi mereka
teman terbaikku untuk selalu menjadi temanku di kota ini. Irene dan Kus,
meski kami bukan teman satu ke satuan, tapi kepada mereka aku bergantian
membagi haru, dan meromantisme perjuangan.
Aku memiliki beberapa teman khusus yang selalu ku
hormati untuk mempercayainya. Dan teman terbaikku yang ini selalu menuntunku
untuk melakukan hal yang benar dan membuat keputusan yang tepat (meskipun
kadang-kadang aku bodoh mengabaikannya). Salah satu teman yang pernah marah
karena aku sudah membuat keputusan yang salah, salah satu yang selalu
mengharapkanku untuk menjadi orang yang lebih baik, dan salah satu orang yang tidak hanya
mendukungku tapi juga peduli tentang apa yang baik untukku dan apa yang tidak.
Mereka adalah kak Ayu, Innez dan Ranti.
Kemudian aku punya teman yang sejenis ini: bertemu dikepanitiaan
kemudian dekat, bercanda di selang perjumpaan di jalan, main bareng, cerita
bareng dan kerap memilih menghabiskan waktu di kamar dan bergosip (ini hal seru
meski sebenernya aku kurang suka). Meski kami hampir tidak pernah membicarakan
hal yang mendalam tapi mereka sering menyempatkan datang untuk membagi masalah
pribadi seperti urusan cinta dan kuliah. Ku kira aku masih bisa berpikir
bahwa mereka teman terbaikku karena aku bisa mempercayai yang mereka ceritakan meski saat ini kami sedang disibukkan dengan
kesibukan masing-masing.
Di tempat kerjaku, aku dihadapkan dengan teman –
teman dengan hati yang amat lebut. Mereka adalah teman yang cocok untuk orang
sepertiku yang lama merasa kehilangan rasa tulus. Mudah untuk kami saling
mengerti. Mereka selalu menerimaku dan selalu mendukung keputusanku, tapi
mereka juga akan mengatakan yang sebenar-benarnya kalau aku kurang baik saat
ambil tindakan: misal saat aku marah bila ada kesalahan kecil, mereka akan
menasehatiku dengan cara yang lembut. Saat-saat seperti itu aku merasa jadi
makhluk buruk rupa buruk hati dan lekas segera memperbaiki diri. Mereka orang – orang yang membuatku merasa
istimewa sebab selalu mendukung keputusanku. Jujur kadang aku agak berharap
bahwa mereka bisa menghentikanku dari tindakan mengambil keputusan yang buruk
dan menyesal setelahnya. Mereka memang teman terbaiku, tapi aku tidak berpikir
bahwa mereka cukup matang bagiku. Sebenarnya itu bukan hal yang buruk, mereka
adalah salah satu hal yang paling indah yang pernah ku miliki, terindahnya
adalah, selama ini aku selalu memiliki mereka ketika aku jatuh, dan
merasa benar-benar pantas bersama mereka. Terindah ke-dua, mereka menjadi bukti
nyata masih adanya ketulusan di muka bumi ini, bagiku, gadis 22 tahun yang
nuranyinya sudah tergerus pesakitan zaman.
Satu tahun terakhir di kota ini, akan menjadi maklum
bila nanti ku jatuhkan air mata saat mengenangnya. Terima kasih sudah menjadi
rumah singgah untuk anak ibuku. ; )