Friday, 16 March 2018

Memeram Pedih

Aku menikmati masaku  yang memberiku kesempatan menjadi pejuang yang begitu sengit.  Maka dari situ aku pun belajar untuk menggeser posisi kapan saja dengan tujuan untuk kadang superior dan inferior. Aku sadar benar, kebisingan dari mereka yang tidak suka selalu akan ada. Tak ada yang dapat dibanggakan atas prestasi yang sudah ku capai, terlebih bagi mereka. Namun pengharapan datang dari sini berupa ruang lepas.  Tak ada yang dapat ku tawarkan, selain hanya terus belajar dan bertahan pada diri.



Purwokerto, 16 Maret 2018

Sunday, 29 October 2017

A Friend Indeed

Beberapa hari kemarin aku baru saja menulis tentang haru biruku 4 tahun tinggal di Jogja. Namun alangkah tidak tahu dirinya diri ini bila aku melupakan sejuta kenangan menis yang juga ku miliki di kota yang mengajarkan asaku terbang mengudara. Kali ini aku tidak mau dipepal sesal karena lupa bilang ‘terima kasih’ pada kota ini sebelum aku pindah laju perantauan.

Selama ini aku menyadari hidupku di selimuti penuh oleh ambisi-ambisi. Tapi dengan itu aku bisa sedikit merasa ‘jaya’ berhasil dipeluk oleh hati karena telah beberapakali menuntaskan pencapaian. Meski telah menunda kelulusan di tahun ini, menulis sebuah penelitian untuk kepanitiaan, membatalkan kesempatan magang di salah satu media yang ku gemari, disusul kenyataan beberapa kali mengganti topik skripsi dari awal. Tapi apakah aku menyesalkannya? Sama sekali tidak. Meski dalam prosesnya kerap aku merasa terlalu jatuh menangis (wajarkan?).

Tahun 2017 mungkin belum jadi masa transisiku dari seorang mahasiswi menjadi pekerja. Tapi aku mekukan keduanya. Tahun ini aku masih belajar sekaligus bekerja seperti tahun-tahun sebelumnya. Oiya, saat ini aku bekerja di Humas UGM di bagian Public Relations. Totally unexpected karena ini sama sekali gak masuk list yg aku buat tiap akhir tahun. Ini cerita menarik juga si menurutku, yang bisa ku ambil hikmahnya. Awalnya aku berkeinginan magang ke Ibu Kota, rencana sudah matang dan proposal sudah aku buat jauh-jauh hari sebelum aku brangkat KKN ke Papua tahun lalu. Pengajuan magangku pun di terima di Liputan 6, happy dong pasti. Rencana dua bulan magang dari bulan februari – april. Namun, di akhir tahun 2016 awal bulan Desember tepatnya, aku memutar pilihan,  mengambil penawaran join kepanitian untuk membuat pementasan di acara dwi tahunan kampusku. Saran dari salah satu teman, “kapanlagi kamu untuk kampus kamu?” dan disusul saran untuk apply kerja di rektorat olehnya pun aku jabani. Itung – itung untuk mengganti masa magangku di media. Dan, taraa aku masih bekerja sampai saat ini. : )

Hikmah yang aku dapatkan. 3,5 tahun sudah menjadi manusia yang hilang rasa aman. Di mana-mana dipepal kewaspadaan, sedang diri butuh teman sebab sepi kerap menjumpai di malam – malam panjang. Aku lupa sejak kapan aku senang dengan kesendirian, yang sedikit kuingat sejak menginjak usia remaja, aku sudah bisa mengerti bahwa semua orang tidak bisa memiliki hubungan dengan perasaan yang sama. Beberapa orang memiliki pasangan, tetapi mereka tidak merasa bahwa pasangan mereka adalah teman terbaik mereka. Pun kurasakan pula dalam suasana keluarga sampai dunia pertemanan. Namun keluarga tetap keluarga, aku tidak akan pernah bisa terlepas dari mereka bagaimana pun sulitnya. Dan aku sangat puas karena aku mendapatkan cinta kasih dari keluarga serta memiliki hak memputuskan pertemanan terbaik untuk ku pertahankan.

Dan di jogja aku mamiliki berbagai jenis teman yang aku butuhkan ketika aku mau. Yang pertama, aku berteman dengan tanamanku yang bibit-bibitnya aku kumpulkan dari beberapa teman yang bersedia kurepotkan, atau dari bapak penjual bunga di Kota Baru yang bersedia memberikan bibit bunganya dengan syarat sedikit rayuan  ujaran hehe (tidak jadi masalah bila aku bisa menyimpan uangku untuk keperluan yang lainnya).

Teman kedua adalah kucing-kucingku yang aku adobsi dari jalanan, maupun pemberian teman karena sudah tidak terawat. Mereka begitu menggemaskan meski banyak pedihnya juga karena mesti ku saksikan kesakitan mereka keluar – masuk RSH serta terus-terusan diikat selang infus. Untuk hal ini, Ibuku sering mengomel karena curhatanku yang lagi tekor menebus uang untuk memperjuangkan nasib kucing-kucingku. Sampai ibuku menyarankan ku untuk mencari adobter lain dan menyuruh mengganti rutinas lain seperti pergi jalan - jalan ke kebun binatang sesekali waktu dan menabung dulu yang banyak biar jadi miliarder: baru bikin peternakan kucing atau bisa juga macan di  kandang milik sendiri. Hmmm, oh, Ibuu : (

Temanku berikutnya adalah orang-orang terbaik yang sangat luar biasa di mataku.  Teman terbaik cukup sulit untuk ku tentukan karena setiap hal memiliki kualifikasi masing-masing. Mungkin yang disebut teman terbaik atau sahabat adalah seseorang yang menerima kita setiap waktu, mendukung kita, bergaul dengan kita sepanjang waktu, dan lain sebagainya. 

Aku cukup senang menonton film festival; beberapa kali membuat dan mendiskusikan bersama beberapa teman. Pernah juga film kami menang kejuaraan! Dari pertemanan ini aku mendaptkan sejumlah orang yang cukup mengisi kekosonganku. Bahkan dari sini aku bisa berkesempatan diskusi sedikit – banyak dengan dosen, sampai saat ini kedekatan kami sudah seperti teman (tapi aku bukan penjilat ya, ini literally muncul dari diskusi yang mengalir). Mereka memberiku ruang untuk tanggap dengan berbincangan sampai join project bareng.

Aku memiliki teman yang benar-benar dekat denganku. Kami akan pergi jalan-jalan bersama ketika bosan dan saling mencurahkan isi hati ketika butuh. Tapi di sisi lain, aku juga berpikir bahwa ia tidak tahu diriku yang sebenar-benernya. Sebab kami memiliki prespektif yang sangat berbeda; sering salah menafsirkan suatu hal dan mempertengkarkannya meski kemudian berpelukan. Yang pasti kami kudu terus saling menghargai pilihan masing-masing dan terus menyayangi. Di kualifikasi ini di isi Salsabila, makasih banyak ya, Sal (kalau kamu baca ini) makasih ga pernah ngebiarin eug kelaperan sampai sakit di kota ini :*.


Dan teman terbaikku berikutnya, aku pikir ini adalah orang-orang yang paling sulit untuk ku temukan. Mereka tahu persis apa yang harus dikatakan dalam setiap keadaan dan tahu apa yang harus dilakukan. Jujur, mereka bukan sepantasnya berteman dengan orang sepertiku yang tidak mengenal banyak rasa, tapi mereka adalah teman yang ku butuhkan. Aku rasa ini adalah sahabat sejati yang seharusnya. Beberapa kali aku membiarkan mereka untuk tahu tentang masalah terbaru, perjuangan, dan benar-benar mempercayai mereka untuk mengetahui masalah-masalah pribadiku. Teman ini mungkin yang selalu ada kapan saja aku ingin berbicara dengannya, kami tidak benar-benar selalu memiliki percakapan yang mendalam, tapi aku selalu mengucapkan kejujuran ku padan mereka tanpa ada prasangka yang menggantung. Yah, kadang-kadang aku tidak benar-benar berpikir bahwa aku pantas, tapi mereka teman terbaikku untuk selalu menjadi temanku di kota ini. Irene dan Kus, meski kami bukan teman satu ke satuan, tapi kepada mereka aku bergantian membagi haru, dan meromantisme perjuangan.

Aku memiliki beberapa teman khusus yang selalu ku hormati untuk mempercayainya. Dan teman terbaikku yang ini selalu menuntunku untuk melakukan hal yang benar dan membuat keputusan yang tepat (meskipun kadang-kadang aku bodoh mengabaikannya). Salah satu teman yang pernah marah karena aku sudah membuat keputusan yang salah, salah satu yang selalu mengharapkanku untuk menjadi orang yang lebih baik, dan salah satu orang yang tidak hanya mendukungku tapi juga peduli tentang apa yang baik untukku dan apa yang tidak. Mereka adalah kak Ayu, Innez dan Ranti.

Kemudian aku punya teman yang sejenis ini: bertemu dikepanitiaan kemudian dekat, bercanda di selang perjumpaan di jalan, main bareng, cerita bareng dan kerap memilih menghabiskan waktu di kamar dan bergosip (ini hal seru meski sebenernya aku kurang suka). Meski kami hampir tidak pernah membicarakan hal yang mendalam tapi mereka sering menyempatkan datang untuk membagi masalah pribadi seperti urusan cinta dan kuliah. Ku kira aku masih  bisa berpikir bahwa mereka teman terbaikku karena aku bisa mempercayai yang mereka ceritakan  meski saat ini kami sedang disibukkan dengan kesibukan masing-masing.

Di tempat kerjaku, aku dihadapkan dengan teman – teman dengan hati yang amat lebut. Mereka adalah teman yang cocok untuk orang sepertiku yang lama merasa kehilangan rasa tulus. Mudah untuk kami saling mengerti. Mereka selalu menerimaku dan selalu mendukung keputusanku, tapi mereka juga akan mengatakan yang sebenar-benarnya kalau aku kurang baik saat ambil tindakan: misal saat aku marah bila ada kesalahan kecil, mereka akan menasehatiku dengan cara yang lembut. Saat-saat seperti itu aku merasa jadi makhluk buruk rupa buruk hati dan lekas segera memperbaiki diri.  Mereka orang – orang yang membuatku merasa istimewa sebab selalu mendukung keputusanku. Jujur kadang aku agak berharap bahwa mereka bisa menghentikanku dari tindakan mengambil keputusan yang buruk dan menyesal setelahnya. Mereka memang teman terbaiku, tapi aku tidak berpikir bahwa mereka cukup matang bagiku. Sebenarnya itu bukan hal yang buruk, mereka adalah salah satu hal yang paling indah yang pernah ku miliki, terindahnya adalah, selama ini aku  selalu memiliki mereka ketika aku jatuh, dan merasa benar-benar pantas bersama mereka. Terindah ke-dua, mereka menjadi bukti nyata masih adanya ketulusan di muka bumi ini, bagiku, gadis 22 tahun yang nuranyinya sudah tergerus pesakitan zaman.


Satu tahun terakhir di kota ini, akan menjadi maklum bila nanti ku jatuhkan air mata saat mengenangnya. Terima kasih sudah menjadi rumah singgah untuk anak ibuku. ; )

Thursday, 26 October 2017

Tentang Seseorang


Perjumpaan dengannya. Aku menemukannya berbicara dengan siapa saja, di mana pun. Setiap waktu di awal pertemuan kami, aku lebih memilih untuk hilang tenggelam dalam lantunan musik yang mengudara sebab sudah lama aku tidak memilih larut dalam kenarsisan orang-orang.

Asap tembakau dibakarnya, mengepul di hadapanku. Dia membawaku pada bangku percakapan di suatu malam, terus diulang di hari berikutnya. Dia bilang, “kamu wanita dengan keunggulan di atas wanita pada umumnya….” tapi ia tidak melanjutkan. Tidak perlu juga karena aku sudah tau kelanjutannya. Lagian bagaimana bisa aku benar-benar percaya ada orang yang benar-benar menyukaiku; meski dibilang berhasil membuat banyak orang jatuh cinta, sedangkan diriku tak bisa menampik bahwa rasa - rasanya aku telah lama membenci diriku sendiri.

Perjumpaan kami berikutnya. Akhrinya aku kembali pada orang yang sama dan dalam pengharapan yang sama. Hari itu diawali dengan keputus asaan sebab kami dipertemukan di siang-siang yang udaranya suram. Kami terus terusan kehujanan tapi di kota yang tiba-tiba jadi nyaman ini, kami tetap memutuskan duduk di mana saja. Setiap hari memulai pertemuan selalu dengan pertanyaan "ingin tahu kabar terbarumu" dan kekakuan terus saja ada, tp berhasil tersimpan rapi di kepala masing-masing.

Sepekan kemudian aku salah ambil keputusan. Malam itu kepalaku di pekik ragu. Aku pikir aku pernah menjalin hubungan romantis sebelumnya. Meski satu dua kali aku cuma jadi formalitas percintaan mereka saja sedangkan di belakang aku tau mereka main api. Meski aku menyadari itu tapi aku pura-pura diam dan mencari jalan untuk bisa keluar dari hubungan tanpa terlihat menyedihkan dan menghapus jejak luka yang sedang mereka tanam dalam kisahku. Jadi sepanjang hidupku aku sudah berusaha dengan kuat supaya aku tidak pernah meneteskan air mata untuk lelaki mana pun dan berpura pura seolah tidak ada yang merugikan diriku dalam setiap hubungan yang pernah ku jalin.

Saat aku memusatkan perhatian pada pengalamannya yang romantis, aku tidak bisa tidak memikirkan seberapa cepat semua hal ini terjadi di antara kami. Tapi aku berani mengaku kepada Tuhan betapa aku belum pernah merasa lebih hidup dari hari di mana pertemuan demi pertemuan yang pernah kami buat salama ia datang ke kota ini. Bahkan aku masih terngiang pertemuan implusif tengah malam yang mebawa kami sampai ke kota sebrang.

Satu malam keputusasaanku, membuat aku memikirkan bahwa kami berdua adalah dua orang yang menyedihkan yang merasa nyaman dalam pelukan masing - masing. Aku tidak bisa menahan diri untuk berharap lebih keras bahwa yang ini akhirnya akan bertahan. Dan kala itu, janji lagi – lagi tidak terpenuhi dan dilepaskan. Aku tidak dapat menahan diri untuk berjanji pada diri sendiri bahwa akan menekan penghakiman sebelumnya tentang hubungan ini. Memikirkan hal itu, ketakutanku mulai menyelinap sampai ke otak. Satu kalimat yang kurangkai dan ku kirim kepadanya mungkin telah memarahi harga dirinya. Dan aku tidak bisa tidak berpikir, betapa bodohnya aku. Dan sebuah kesimpulan mulai menghiasi ruang pikiranku, 'Aku begitu sangsi pada diriku sendiri sampai bodohnya aku berprilaku seperti bocah puber baru kenal cinta!'

Jadi malam itu aku sudah menangis. Karena semua ketakutan dan spekulasi selama ini menimbulkan kerusuhan di benakku. Dan juga untuk sebuah kesadaran bahwa aku tidak pernah merasa begitu takut kehilangan seseorang seperti sekarang. Mengapa? Karena untuk sekali ini, seseorang memahamiku.

Tapi,
Setiap jiwa tetap harus diberi penghidupan. Dengan kesalahan yang pernah aku buat, harapan yang telah ku siakan ini akan jadi pelajaran untuk kubawa dalam perjalananku ke depan. Jalanku yang masih sangat panjang dan akan ku temukan warna meranum indah menghiasi jiwa kembali.





Tuesday, 24 October 2017

Miss Independen

Sendirian. Aku telah berada di sini selama 4 tahun, masih juga heran bisa sejauh ini. Aku tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya sampai aku berumur tujuh belas tahun lalu mengambil keputusan. Kepada diri sendiri masih bertanya "Kenapa memilih kota ini?" Maka lamunku pun menjawab, "Allah membawamu ke jalan yang benar dan kamu di sini karena ini adalah takdirmu".

Empat tahun di sini aku masih memiliki mimpi yang sama; tinggal bersama Ibu dan saudara laki-lakiku di satu rumah, sarapan pagi atau makan malam bersama. Sesekali menyiram tanaman dan gontong royong membersihkan perkerangan rumah. Mimpiku memiliki hunian hijau nan nyaman, tinggal bersama orang-orang yang kukasihi.

Sendiri. Banyak pelajaran yang kuambil di sini. Dan sinilah rasanya aku pernah hampir mati. Dipekik sepi, dicekik rasa sakit, sesak di dada dan tak tau pada siapa bisa ku mintai pertolongan. Dalam kesengsaraan itulah tangisku sering kali pecah dan atap - atap kamar petak yang ku sewa inilah jadi saksinya.

Tak apa sendiri. Aku hanya harus mencoba menghargai hal-hal kecil supaya aku bersyukur atas apa yang ku dapatkan sekarang, dan ku terus mendorong diri untuk menangkap mimpiku. Semua yang baik dan buruk atau pasang surut dalam hidupku, aku berterima kasih banyak untuk itu.


Have a good life fighter. :)

Monday, 27 March 2017

Perjalanan Pulang yang Tak Kunjung Sampai

Jika benar manusia dalam hidupnya sedang dalam pengembaraan mencari sesuatu. Maka sudah ku  temukan ‘sesuatu’ku. Yang kerap bikin kangen, namun raib ketika hendak disinggahi: rumah. Bagiku, rumah bukanlah yang terdiri atas balok dan semen, tapi jiwa yang membangun kenyamanan atas jiwa diri sendiri.
Suatu hari pernah ku menemukan rumah pada musim kemarau yang kurasakan pada sepoi angin pantai selatan. Atau tawa-tawa yang jadi candu sore hari yang teduh di roof top pertokoan 7 lantai. Atau pada rasa sayang sisa-sisa cinta pertama yang tidak menuntut apa-apa dan hanya terendam dalam doa paling suci gadis perawan 22 tahun.
Aku menyadari bahwa mengenang  masa lampau sama dengan menyerahkan diri pada suatu kegilaan yang dipenuhi dengan haru-haru tak berujung. Namun aku terus memilih jadi pejuang rasa kesepian dari satu cinta yang naif.  Aku tidak benar-benar percaya atas keabadian cinta, maupun ketulusannya. Namun kali ini aku membiarkan nuraniku mati lemas karena takut menyuarakan perasaan yang terus ku rasakan.
Setiap saat ia menyita kesedaranku: lelaki yang penuh luka di jiwanya. Mungkin jauh ini dia sudah berbeda, ‘aku tak pernah peduli siapa anda sekarang, anda tetap seorang yang ku kenal dengan tatap mata dalam serat makna.’ Seorang  itu yang padanya ku menjadi diriku sebenar-benarnya. Dan membagi luka. Seorang yang ungkapannya  masih terdengar: “Tak pernah ku temui sebelumnya perempuan sekuat kamu”, padahal jiwamu dipepal luka dan menolak untuk menyembuhkannya.
Dan karenya aku menemukan dunia baru, benar ungkap Agus Noor bahwa: kesedihan butuh teman, maka itu jadilah beer (meski aku minum bahkan merokok saja tak bisa). Jadilah kampus menjadi menyenangkan, sebab alih-alih menjadi pelarian gundah dan kesibukan menggugah kembali adrenalinku yang telah dipukul mati sejak lepas SMA. Aku sangat mensyukuri kehadiran orang-orang baru.
Namun kini sungguh perasaan ini begitu memuakkan. Renungku meledak di samping tilam tidurku. Raung tangisku di tengah malam di temani gaung anjing milik tetangga sebelah. Kurasakan mata-mata baru, serta kenangan di kota asing ini membakar jiwa suci.
Dulu aku begitu puas dengan apa-apa yang ada dalam perjalanan; yang keasingannya menimang membuatku menganggap bahwa rumahku adalah terletak pada perjalanan pencarian mencari jati diri. Kini yang ada: tak lagi percaya atas jiwa yang hilang yang tak lagi ditumbuhi bunga-bunga pengharapan. Dengan sadar Dwi Utami membakar ambisi-ambisi dan nafsu-nafsu yang dulu membuat nuraninya berjaya. Menjauh dari rumah impian dan jiwa yang percaya pada kebenaran dan ketulusan.