Thursday, 3 November 2016

Ingatan tentang Dewa-Dewa dan Hujan

Ditulis 25 September 2016

Hari ini kau bersiap, dengan penutup rambut warna hitam dan warna yang kau kenakan lainnya bewarna putih.

Mengayuh sepeda merah yang sejak SD kau miliki, mengikuti jejak sendiri. Mampir di setiap toko kesukaan dan sampai kau singgahkan diri ke salon kecantikan.

Berdiri beberapa lama di depan  cermin, kau berusaha mengingat wajah diri. Menatap mata sendiri, memasang senyum percaya diri namun sedikit ragu. Matamu berusaha cukup kuat untuk melihat dengan jelas gambar diri sebab pixel mata yang telah rusak sejak SD kelas 6.

Termangu, kau mengingat semua nama yang  pernah meninggalkanmu. Dengan mata terpejam bertanya-tanya siapa diantara mereka yang juga menangis menyaksikan hatimu yang selalu sembunyi bila hancur berkeping-keping. Kau menggosok kecil anak air mata yang mencoba jatuh di kedua pipi.

Kembali pada gambar  dalam cermin, kau percaya bahwa gambar itu sempurna di matamu. Gambar wanita yang selalu  dibanjiri peluh, tapi erangannya tak pernah didengarkan pada siapa pun. Bagimu amarah tak bertuan hanya hanya milik iblis bertanduk dua. Dan kau akan mengampuni wajah-wajah asing yang pernah membuat dada dan kepala sumpek. Luluhkan hasrat kebencian dari sosok-sosok pemilik kemanusian yang tak sempurna. Bersyukurlah pada Tuhan, memberimu ketidaksempurnaan untuk menjadi sempurna. Meski di mata sendiri. Kepuasan batin sendiri.

Basah dirambutmu sudah disapu angin hair dryer, kau kembali mengenakan penutup rambut dan kau meninggalakan tempat wanita-wanita menyulap diri itu bersama sepeda kayuhmu. Di tengah perlanan pulang kau berhenti sejenak di depan pemakaman sebab melihat gadis usia 12 tahun masuk sendirian dengan sekantong kembang di tangan kanannya. Ilusimu mengabarkan gadis itu rutin datang seminggu sekali setiap kamis sore untuk mendoakan ayahnya yang berpulang karena komplikasi setahun lalu.

Gumpalan asap bewarna abu kecoklatan membumbung ke udara dari halaman belakang pemakaman, naik hingga keatas dan pecah dibawa angin. Gadis itu sudah keluar dengan mata penuh kepiluan. Sama sepertimu  dengan sepeda merah ia  mengayuh menuju jalan  pulang ke rumah.

Kau mencoba mengikuti dari belakang. Namun hujan turun begitu saja dan memudarkan sosok di depan.

Bersandar di tepi pertokoan, menghantarkan hawa tanggung dalam pikirmu. Kau mulai merasa dingin. Tiba-tiba terlihat  anak kicil yang digendong ayahnya di emper rumah di sebrang sana. Sejak kecil dulu, kau senang melihat hujan turun sambil dipangku, yakin bahwa dewa-dewa yang putih menggunakan rintik air hujan sebagai tiang untuk turun ke bumi menjemput doa-doa baik.

Wajahmu berubah sendu, seketika terbayang ibu yang tiba-tiba masuk dari balik pintu kamar, membawa kartu tabungan dari bank swasta sebagai kado ulang tahun ke-13 tahunmu. Mau tidak mau kau akan menyisikan sebagian uang jajan untuk mengisi kado itu setiap akhir bulan. Dan saat usia 16 tahun kau menemukan sahabat terbaik, yang bersedia menemanimu menyimpan uang jajan, mengisi perut setiap istirahat siang dengan bekal yang telah disiapkan dari rumah, entah isinya nasi sarden, sarimi isi dua, atau nugget dengan saos sambal yang terkadang mengotori rok abu-abu kebanggaan. Kalian berdua tak pernah inginkan canda-hangat bersama teman-teman di kantin sekolah yang diisi penuh  candu merdu gosip pertemanan masa muda.

Jika kau melihat dirimu yang dulu, jemarimu tak pernah berhenti bergetar sedikitpun. Kau tak bisa diam seperti batu, tak kenal rasa takut. Anak yang selalu jadi kebanggaan seisi gag RT. 01 karena semangatnya yang selalu ingin jadi juara di perlobaan agustusan. Anak yang selalu mengagumi cita-cita untuk menolong orang. Anak yang lahir dari keluarga baik dan harmonis.  Selalu membandingkan hidup hari ini dengan kisah orang suci dan pahlwan rakyat yang pernah dibacanya selagi anak-anak.

Di suatu waktu, di penghujung musim hujan, tahun itu kau 11 tahun. Kau meratapi kesempurnaanmu yang tak lagi sempurna sebab tak ada yang bisa kau anggap luar biasa lagi. Kau selalu merasa kecil pada mereka yang memulai banyak hal dari bawah.  Sejak itu alam pun bereaksi. Kau tak lagi miliki pengabdian seorang ayah, kau tak lagi mimpikan bisa memindahkan gunung, menyatukan dua benua yang terpisahkan lautan luas. Kau malah kelaparan sebelum sempat berlari ke kutub-kutub dunia.

Terus terang kini kau tak punya banyak pilihan. Bahkan hatimu masih tertinggal pada pria milik orang  disebrang sana. Apa dirimu yang sempurna di matamu hanya bernasib bagai lelucon yang dingerkan pada ibu-ibu di pasar  pagi setiap minggu. Habis sudah tawa mereka yang dulu terpendam dalam dada.

Rintik hujan hilang tak bersisa, kau tak mau lagi tahu nasip cinta di jiwamu. Kau ambil lagi kendali sepeda menuju jalan pulang ke rumah. Melewati jejak gadis di pemakaman tadi.


Monday, 1 August 2016

Jemu

Papua, aku mencoba berdamai dengan gunungan kecamuk yang bergelayut di derai tawa tumpukan orang-orang dalam pondokan putih beratap seng birumu. Dari keramaian ini, aku dibisingi keyakinan semu. Mungkin juga, itu kebisingan tentangku. Aku pun tak pernah payah dalam gejola yang mereka buat. Tak pernah ingin tahu. Sesaat  rindu lebih menyentak memberantakkan dimensi waktu. Beberapa sedu sendan kuanggap hilang. Lalu entah berapa harap yang telah kubuang.


Tuesday, 28 June 2016

Sejengkal Lebih Rendah

Hari ke-8 KKN:

*payah betul akhir-akhir ini batin saya tertinggal di jawa, resah, pedih, perih.

Saya  sama sekali tidak ingin memiliki mental pengemis. Pun bila memaksa diri untuk melakukan hal lain hanya akan membuat diri ini semakin otonom. Sejujurnya saya memiliki harapan lebih rendah terhadap orang-orang  yang saya pikir selalu memanfaatkan kemampuan saya. Dan dari beberapa pengalaman yang saya alami, fakta yang membuat saya terkejut akhir-akhir ini adalah kemampuan mereka tidak lebih rendah dari harapan saya.  Paling tidak beberapa orang telah meyelamatkan hidup saya dari kerusakan yang telah saya ciptakan sendiri. Sekarang yang harus saya pikirkan adalah bagaimana saya menjaga diri dari kerusakan yang mengancam.

Saya merasa kuat ketika saya menulis sesuatu. Bahkan saya bisa banyak menyita waktu untuk sekadar memeberi komentar pada time-line milik rekan saya. Saya merasa kuat dengan tulisan-tulisan random yang acap kali saya buat dan buang begitu saja. Tapi, saya sering dibuat sedih juga dengan tulisan saya sendiri. Ketidak telitian membuat saya sering melakukan kesalahan dalam penulisan kata (typo). Ya, sejak SD kelas 6 piksel kedua mata saya rusak membuat saya selalu gagal memproyeksikan sesuatu.

Dan ketika saya tidak bisa melihat ketidak sempurnaan pada diri saya, saya akan lebih bisa menerima dan paham mengapa orang-orang memutuskan untuk pergi meninggalakan saya. Meski banyak juga yang mengatakan bahwa mereka mengagumi saya, tapi tidak pernah menggali diri saya lebih dalam lewat perbincangan yang kami buat, itu membuat saya merasa tak benar-benar hadir dalam pertemuan ramai yang kami buat.

Friday, 24 June 2016

Sang Kawan di Tapal Batas

Hari ke-4 KKN:

Sentuhan pada mata-mata di sini telah membantu saya untuk menemukan identitas saya kembali. Hal ini menjadi tanda bahwa diri saya masih berfungsi. Untungnya sebuah pengalan dapat membuat saya mengerti sesuatu dengan lebih jernih tentang apa yang terjadi dan melatih kepekaan saya.

Di depan rumah, tempat yang saya tinggali di suguhi perjuangan yang takkan usai. Ada hutan dan beberapa kilo meter berikutnya adalah batas negara. Kemarin saya sibuk mengurus derita perasaan saya, dan seperti sengaja Tuhan menyisakan ruang untuk saya. Sekarang saya memiliki perjalanan yang menajubkan.

Bulan-bulan yang lalu, saya begitu haru menantikan masa-masa kebabasan. Saya begitu merindukan perjalanan dan perjuangan. Saya mempercayai; manusia terbaik  banyak dilahirkan dari sebuah perjuangan. Akhirnya kini nurani tergantung pasrah di tapal batas, Papua Timur.  Dan saat ini yang kugenggam adalah senyum semangat dari putra-putri bangsa ujung Timur.

Setiap sore di ujung jalan utama menuju rumah sementara saya terdapat sebuah pasar kecil yang diisi beberapa kepala saja. Maka tidak juga banyak pembeli yang datang. Beberapa hasil ladang dijajakan. Beralaskan karung gondi; pisang, ubi dan pinang dijajakan. Dan harap mereka melalang buana menanti rupiah datang.


Ada banyak hal yang saya temui dari perjalanan ini, termasuk si bolang yang setiap sore mencari perhatian di rumah penginapan kami. Sore tadi kami menari bersama di atas kecerian. Seakan melahap segala prasangka atas identitas suku dalam yang sudah mengisi penuh kepala saya.

Wednesday, 22 June 2016

Tertulis dari Keerom, Papua Timur

 Hari ke-2 KKN:

Sehari setelah keberangakatan tak cukup menyedihkan, selain kurangnya ventilasi rumah  semua cukup normal untuk diterima. Suhu udara yang nyaris dua kali lipat panasnya menelanjangi malu saya yang menyerah menjadi manja.

Percaya kedatangan saya yang meramu harap. Wacana; Untuk Papua masih bising di kepala saya. Mengingat sehari sebelum keberangkatan, gaung suara seorang teman yang berpesan untuk menyimpan banyak harapan saya. Dan ternyata memang, saya tidak menari di atas kegembiraan saat perjalanan pergi.

Hari ke-2 ini, saya rasa pantas untuk dirayakan sebab kami mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah. Kami mendapatkan sebuah penawaran atas nama progker tambahan yang mengejutkan (menyenangkan dan sangat mendukung wacana Untuk Papua kami). Setelah hari yang panjang yang melelahkan, kepulangan kami disambut hujan deras yang mengguyur habis dahaga. Hari ini saya mengaku cukup senang dan gaung suara teman saya lenyap pulas.

Namun satu hal yang sangat tidak pernah masuk dalam angan saya bahwa sore tadi sebuah kompor nyaris memanggang nasip 29 orang tim kami. Sangat bodoh hahaha...


Tuesday, 21 June 2016

Malam Pertama di Tanah Papua

Lengang waktu meyempurnakan lamunan, sembari menikmati suara dari 2 lubang earphone yang memang lebih menarik dibandingkan asap di samping tubuh ini. Kebahagian sendiri. Tak ada kebisingan selain sedikit suara jangkrik hutan yang ramai melengking. Tak ada lagi gaungan tadarus. Selain beberapa yang masih tinggal di rumah sementara, lainnya sibuk merayakan ibadah pada Tuhan umat muslim di bulan suci bagi pemeluknya.
Waktu saya SMP kelas dua, saya pertama kali mendengarkan cerita tentang tanah Papua oleh salah satu kerabat dari Ibu. Saya masih ingat betapa exited saat mendengarkan cerita oleh tante yang cat rambutnya luntur di bagian atas. Mungkin saya tidak dapat menceritakan ulang dan menjelaskan apa yang membuat saya tertarik, saya pikir tenggelam dalam sejuta rasa penasaran terasa jauh lebih nyaman dari pada masuk pada satu kepastian serta jawaban atas kemauan. Dengan pertanyaan-pertanyaan kosong, saya membayangkan hidup jauh dari kebisingan.
Kini saya benar dibawa pada tanah yang jauh dari tempat kelahiran saya. Sungguh tenang penuh kebisuan. Kami menyebutnya Tapal Batas Lentera Papua. Hari ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki pada tempat yang pernah saya dengar menyeramkan tujuh tahun lalu. Bersama orang-orang baru saya akan menjadi petualang yang melalang buana. Di masa perkuliahan semester tua.
Mungkin bersama patner baru saya dalam memperingati bulan wacana Untuk Papua, saya akan sering terlibat dalam percakapan yang dalam, meskipun sama-sama tidak mengakui betapa kami lelah akan percakapan tersebut dan tak ingin berlama-lama mengembangkan wacana. Atau mungkin juga akan tumbuh percakapan teantang mimpi, masalah, harapan, dan ketakutan. Saya, sebagai pendengar kisah-kisah yang setia, mampu menyortir episode favorit yang mungkin menjadi alasan mengapa saya  pantas bertahan lama-lama dalam lingkar wacana.


Monday, 13 June 2016

TEGUK TEDUH

Kemarin saya begitu bebas berteriak-teriak diantara kabin-kabin jalan. Pada malam hari saya berenang-renang di angkasa, kemudian duduk di cabang-cabang pohong paling tinggi kemudian memandangi puri-puri dan istana-istana kota yang warna-warni.

Kemarin, saya seperti mimpi yang berjuang di bawah amuk gelap malam yang pekat. Melalui celah-celah jendela saya mencoba bermain-main dengan emosi mereka.

Kemarin, saya seperti sepenggal pemikiran yang berkelana sendirian melewati dunia Timur dan Barat. Bersuka cita dengan hal-hal yang baik dan menikmati kebahagiaan hidup, menyelidiki lebih dalam tentang rahasia-rahasia dan misteri-misteri tersembunyi dari dalam manusia.

Hari ini, saya menemui ketenggalaman dalam ciuman-ciuman harapan.  Saya bangkit berdiri seperti tahanan yang menyeret rantai-rantainya ke arah yang tidak saya ketahui. Saya seperti sedang mabuk, mencari lebih banyak anggur yang telah merenggut kesadaran saya.


Sudahkah saatnya saya mengambil pancaindra saya kembali dan mematahkan belenggu-belenggu yang meletihkan kaki saya. Saya harus mulai kendaki jalan baru yang harus saya lalui, dan menghancurkan cawan berisi  racun yang kemarin kuteguk.