Tuesday, 21 June 2016

Malam Pertama di Tanah Papua

Lengang waktu meyempurnakan lamunan, sembari menikmati suara dari 2 lubang earphone yang memang lebih menarik dibandingkan asap di samping tubuh ini. Kebahagian sendiri. Tak ada kebisingan selain sedikit suara jangkrik hutan yang ramai melengking. Tak ada lagi gaungan tadarus. Selain beberapa yang masih tinggal di rumah sementara, lainnya sibuk merayakan ibadah pada Tuhan umat muslim di bulan suci bagi pemeluknya.
Waktu saya SMP kelas dua, saya pertama kali mendengarkan cerita tentang tanah Papua oleh salah satu kerabat dari Ibu. Saya masih ingat betapa exited saat mendengarkan cerita oleh tante yang cat rambutnya luntur di bagian atas. Mungkin saya tidak dapat menceritakan ulang dan menjelaskan apa yang membuat saya tertarik, saya pikir tenggelam dalam sejuta rasa penasaran terasa jauh lebih nyaman dari pada masuk pada satu kepastian serta jawaban atas kemauan. Dengan pertanyaan-pertanyaan kosong, saya membayangkan hidup jauh dari kebisingan.
Kini saya benar dibawa pada tanah yang jauh dari tempat kelahiran saya. Sungguh tenang penuh kebisuan. Kami menyebutnya Tapal Batas Lentera Papua. Hari ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki pada tempat yang pernah saya dengar menyeramkan tujuh tahun lalu. Bersama orang-orang baru saya akan menjadi petualang yang melalang buana. Di masa perkuliahan semester tua.
Mungkin bersama patner baru saya dalam memperingati bulan wacana Untuk Papua, saya akan sering terlibat dalam percakapan yang dalam, meskipun sama-sama tidak mengakui betapa kami lelah akan percakapan tersebut dan tak ingin berlama-lama mengembangkan wacana. Atau mungkin juga akan tumbuh percakapan teantang mimpi, masalah, harapan, dan ketakutan. Saya, sebagai pendengar kisah-kisah yang setia, mampu menyortir episode favorit yang mungkin menjadi alasan mengapa saya  pantas bertahan lama-lama dalam lingkar wacana.


No comments:

Post a Comment