Tuesday, 28 June 2016

Sejengkal Lebih Rendah

Hari ke-8 KKN:

*payah betul akhir-akhir ini batin saya tertinggal di jawa, resah, pedih, perih.

Saya  sama sekali tidak ingin memiliki mental pengemis. Pun bila memaksa diri untuk melakukan hal lain hanya akan membuat diri ini semakin otonom. Sejujurnya saya memiliki harapan lebih rendah terhadap orang-orang  yang saya pikir selalu memanfaatkan kemampuan saya. Dan dari beberapa pengalaman yang saya alami, fakta yang membuat saya terkejut akhir-akhir ini adalah kemampuan mereka tidak lebih rendah dari harapan saya.  Paling tidak beberapa orang telah meyelamatkan hidup saya dari kerusakan yang telah saya ciptakan sendiri. Sekarang yang harus saya pikirkan adalah bagaimana saya menjaga diri dari kerusakan yang mengancam.

Saya merasa kuat ketika saya menulis sesuatu. Bahkan saya bisa banyak menyita waktu untuk sekadar memeberi komentar pada time-line milik rekan saya. Saya merasa kuat dengan tulisan-tulisan random yang acap kali saya buat dan buang begitu saja. Tapi, saya sering dibuat sedih juga dengan tulisan saya sendiri. Ketidak telitian membuat saya sering melakukan kesalahan dalam penulisan kata (typo). Ya, sejak SD kelas 6 piksel kedua mata saya rusak membuat saya selalu gagal memproyeksikan sesuatu.

Dan ketika saya tidak bisa melihat ketidak sempurnaan pada diri saya, saya akan lebih bisa menerima dan paham mengapa orang-orang memutuskan untuk pergi meninggalakan saya. Meski banyak juga yang mengatakan bahwa mereka mengagumi saya, tapi tidak pernah menggali diri saya lebih dalam lewat perbincangan yang kami buat, itu membuat saya merasa tak benar-benar hadir dalam pertemuan ramai yang kami buat.

Friday, 24 June 2016

Sang Kawan di Tapal Batas

Hari ke-4 KKN:

Sentuhan pada mata-mata di sini telah membantu saya untuk menemukan identitas saya kembali. Hal ini menjadi tanda bahwa diri saya masih berfungsi. Untungnya sebuah pengalan dapat membuat saya mengerti sesuatu dengan lebih jernih tentang apa yang terjadi dan melatih kepekaan saya.

Di depan rumah, tempat yang saya tinggali di suguhi perjuangan yang takkan usai. Ada hutan dan beberapa kilo meter berikutnya adalah batas negara. Kemarin saya sibuk mengurus derita perasaan saya, dan seperti sengaja Tuhan menyisakan ruang untuk saya. Sekarang saya memiliki perjalanan yang menajubkan.

Bulan-bulan yang lalu, saya begitu haru menantikan masa-masa kebabasan. Saya begitu merindukan perjalanan dan perjuangan. Saya mempercayai; manusia terbaik  banyak dilahirkan dari sebuah perjuangan. Akhirnya kini nurani tergantung pasrah di tapal batas, Papua Timur.  Dan saat ini yang kugenggam adalah senyum semangat dari putra-putri bangsa ujung Timur.

Setiap sore di ujung jalan utama menuju rumah sementara saya terdapat sebuah pasar kecil yang diisi beberapa kepala saja. Maka tidak juga banyak pembeli yang datang. Beberapa hasil ladang dijajakan. Beralaskan karung gondi; pisang, ubi dan pinang dijajakan. Dan harap mereka melalang buana menanti rupiah datang.


Ada banyak hal yang saya temui dari perjalanan ini, termasuk si bolang yang setiap sore mencari perhatian di rumah penginapan kami. Sore tadi kami menari bersama di atas kecerian. Seakan melahap segala prasangka atas identitas suku dalam yang sudah mengisi penuh kepala saya.

Wednesday, 22 June 2016

Tertulis dari Keerom, Papua Timur

 Hari ke-2 KKN:

Sehari setelah keberangakatan tak cukup menyedihkan, selain kurangnya ventilasi rumah  semua cukup normal untuk diterima. Suhu udara yang nyaris dua kali lipat panasnya menelanjangi malu saya yang menyerah menjadi manja.

Percaya kedatangan saya yang meramu harap. Wacana; Untuk Papua masih bising di kepala saya. Mengingat sehari sebelum keberangkatan, gaung suara seorang teman yang berpesan untuk menyimpan banyak harapan saya. Dan ternyata memang, saya tidak menari di atas kegembiraan saat perjalanan pergi.

Hari ke-2 ini, saya rasa pantas untuk dirayakan sebab kami mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah. Kami mendapatkan sebuah penawaran atas nama progker tambahan yang mengejutkan (menyenangkan dan sangat mendukung wacana Untuk Papua kami). Setelah hari yang panjang yang melelahkan, kepulangan kami disambut hujan deras yang mengguyur habis dahaga. Hari ini saya mengaku cukup senang dan gaung suara teman saya lenyap pulas.

Namun satu hal yang sangat tidak pernah masuk dalam angan saya bahwa sore tadi sebuah kompor nyaris memanggang nasip 29 orang tim kami. Sangat bodoh hahaha...


Tuesday, 21 June 2016

Malam Pertama di Tanah Papua

Lengang waktu meyempurnakan lamunan, sembari menikmati suara dari 2 lubang earphone yang memang lebih menarik dibandingkan asap di samping tubuh ini. Kebahagian sendiri. Tak ada kebisingan selain sedikit suara jangkrik hutan yang ramai melengking. Tak ada lagi gaungan tadarus. Selain beberapa yang masih tinggal di rumah sementara, lainnya sibuk merayakan ibadah pada Tuhan umat muslim di bulan suci bagi pemeluknya.
Waktu saya SMP kelas dua, saya pertama kali mendengarkan cerita tentang tanah Papua oleh salah satu kerabat dari Ibu. Saya masih ingat betapa exited saat mendengarkan cerita oleh tante yang cat rambutnya luntur di bagian atas. Mungkin saya tidak dapat menceritakan ulang dan menjelaskan apa yang membuat saya tertarik, saya pikir tenggelam dalam sejuta rasa penasaran terasa jauh lebih nyaman dari pada masuk pada satu kepastian serta jawaban atas kemauan. Dengan pertanyaan-pertanyaan kosong, saya membayangkan hidup jauh dari kebisingan.
Kini saya benar dibawa pada tanah yang jauh dari tempat kelahiran saya. Sungguh tenang penuh kebisuan. Kami menyebutnya Tapal Batas Lentera Papua. Hari ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki pada tempat yang pernah saya dengar menyeramkan tujuh tahun lalu. Bersama orang-orang baru saya akan menjadi petualang yang melalang buana. Di masa perkuliahan semester tua.
Mungkin bersama patner baru saya dalam memperingati bulan wacana Untuk Papua, saya akan sering terlibat dalam percakapan yang dalam, meskipun sama-sama tidak mengakui betapa kami lelah akan percakapan tersebut dan tak ingin berlama-lama mengembangkan wacana. Atau mungkin juga akan tumbuh percakapan teantang mimpi, masalah, harapan, dan ketakutan. Saya, sebagai pendengar kisah-kisah yang setia, mampu menyortir episode favorit yang mungkin menjadi alasan mengapa saya  pantas bertahan lama-lama dalam lingkar wacana.


Monday, 13 June 2016

TEGUK TEDUH

Kemarin saya begitu bebas berteriak-teriak diantara kabin-kabin jalan. Pada malam hari saya berenang-renang di angkasa, kemudian duduk di cabang-cabang pohong paling tinggi kemudian memandangi puri-puri dan istana-istana kota yang warna-warni.

Kemarin, saya seperti mimpi yang berjuang di bawah amuk gelap malam yang pekat. Melalui celah-celah jendela saya mencoba bermain-main dengan emosi mereka.

Kemarin, saya seperti sepenggal pemikiran yang berkelana sendirian melewati dunia Timur dan Barat. Bersuka cita dengan hal-hal yang baik dan menikmati kebahagiaan hidup, menyelidiki lebih dalam tentang rahasia-rahasia dan misteri-misteri tersembunyi dari dalam manusia.

Hari ini, saya menemui ketenggalaman dalam ciuman-ciuman harapan.  Saya bangkit berdiri seperti tahanan yang menyeret rantai-rantainya ke arah yang tidak saya ketahui. Saya seperti sedang mabuk, mencari lebih banyak anggur yang telah merenggut kesadaran saya.


Sudahkah saatnya saya mengambil pancaindra saya kembali dan mematahkan belenggu-belenggu yang meletihkan kaki saya. Saya harus mulai kendaki jalan baru yang harus saya lalui, dan menghancurkan cawan berisi  racun yang kemarin kuteguk.

Sunday, 12 June 2016

Aku Cuma Memandang Indah Padumu


“Jangan dikira cinta datang dari keakraban yang lama dan karena pendekatan yang tekun. Cinta adalah kecocokan jiwa dan jika itu tidak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad.”- Kahlil Gibran

Thursday, 9 June 2016

Sesobek Cerita Malam

Malam mengepakkan sayap-sayap hitamnya, kesunyian melanda, sementara kehidupan masih merana di kota orang. Lampu-lampu dipadamkan pemilik kamar, bulan mencurahkan pendar cahaya kuningnya ke atas pucuk pandang di sekitar mata yang luas bak sedang berada di tengah lautan emas. Harapan itu kembali datang, besar bagai raksasa dalam keheningan putri malam. Saat itu, tatkala penduduk hanyut dalam malam, matamu datang dengan tajam di rumpun salam.

            Mata-mata itu menyalakan setanggi jiwaku, memasuki kuil istar pikiranku. Dengan suara sayat dan tersendat aku meramumu, tengoklah hatiku hancur luluh dan jiwaku merana. Dari lubuk jiwaku aku meratap padamu, ungkapkan rahasia dan kearifanmu.